Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Budaya : Mengasah kecerdasan dengan berpantun

Format : Artikel

Impresum
Yurnaldi - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 6 Mei 2008

Isi:

PETANG itu, sekelompok murid Sekolah Dasar Negeri 001 Tanjungpinang Timur, Kota Tanjungpinang, Provinsi Kepulauan Riau, tengah asyik belajar pantun dengan guru pembimbing, Muchtar. Mereka tampak sedang berbalas pantun. Asyik juga menyimak mereka, merangkai kata, mencari sampiran, lalu menyampaikan maksud atau isi pantun secara spontan.

Ketika ditanya siapa namanya, mereka menjawab dengan pantun.

Bulan purnama burung merpati/Si burung pipit ditembak preman/ Nama saya Novi Asti/Berlesung pipit murah senyuman.

Alamak, alangkah eloknya mereka memperkenalkan diri. Teman-teman Asti juga memperkenalkan diri dengan cara berpantun. Bahkan, saat ditanya bagaimana sikapnya terhadap kebersihan lingkungan, mereka menjawabnya juga dengan pantun. Anak-anak SD itu, ternyata, begitu akrab dengan tradisi berpantun.

"Saya suka berpantun karena mengasah diri untuk bertutur kata dengan santun. Pantun adalah budaya Indonesia yang harus ditumbuhkembangkan. Malu rasanya jika tidak pandai berpantun," kata Novi Asti, murid kelas V SD Negeri 001 Tanjungpinang Timur.

Berkunjung ke tempat lain, di sebuah tempat pertunjukan, anak-anak dari berbagai jenjang pendidikan, SD, SMP, dan SMA, tampak akrab dan tengah asyik beradu atau berbalas pantun, persiapan mereka untuk sebuah perlombaan berbalas pantun.

Ini, tentu, sebuah kreativitas yang tidak saja mendorong anak mencintai seni budaya Melayu, tetapi juga mengasah keterampilan dan kecerdasannya, serta keberanian tampil di tempat-tempat umum, dengan mengajak teman berpantun.

Kenyataan ini didukung dengan semakin banyak sanggar pantun yang menampung anak-anak muda untuk mengasah dan mendalami pantun. Tercatat antara lain Rumah Pantun Madah Kencana di Kelurahan Tanjungpinang Barat, Sanggar Pantun Komunitas Seni Anak Negeri di Kelurahan Sungai Jang, serta Kafe Pantun di Kompleks Bintan Center di Jalan DI Panjaitan.

Ada pula Depot Kreativitas Anak Bangsa (DEKAB) di Jalan Kartika Gang Mayangsari, Kedai Kopi Seloka Pantun di Jalan Agus Salim serta Sanggar Pantun Sebauk di Kelurahan Senggarang, dan Sanggar Pantun Kampung Bugis di Kelurahan Kampung Bugis.

Untuk mendukung itu, penerbitan buku pantun pun berkembang pesat. Buku yang sudah terbit antara lain Kumpulan Pantun Pernikahan karya Tamrin Dahlan, Bingkai Pantun karya Encik Abdul Hajar, Mari Berpantun karya Tusiran Suseno, Tata Cara Peraduan Pantun karya Tusiran Suseno, dan Pantun Majelis karya Tusiran Suseno.

Bahkan, pantun di Kota Tanjungpinang, menurut Wali Kota Hj Suryatati A Manan, telah menjadi satu cabang pendidikan tambahan mulai dari SD, SMP, sampai SMA.

Kenapa tradisi berpantun begitu mengakar di Kota Tanjungpinang?

Menurut Tusiran Suseno, yang baru-baru ini mendapat penghargaan sebagai Penggiat Pantun Kota Tanjungpinang, pantun mempunyai keunikan dan keindahan, serta menjadi kebanggaan masyarakat Melayu. Keberadaannya adalah sebagai gambaran kehidupan dan corak pemikiran masyarakat.

"Di samping itu, pantun juga mempunyai keindahan bahasa dan isi yang padat dalam susunan bait yang singkat serta dapat menyampaikan maksud dengan singkat. Apalagi, aktivitas masyarakat menggiatkan pantun mendapat respons positif dari Pemerintah Kota Tanjungpinang, dengan tersedianya berbagai fasilitas. Pantun juga mengasah kecerdasan dan kecakapan berbahasa," tuturnya.

Daya tarik pilkada

Karena berpantun sudah menjadi aktivitas keseharian kalangan masyarakat Kota Tanjungpinang, sampai-sampai ketika pemilihan kepala daerah atau pilkada, pantun juga menjadi daya tarik tersendiri karena ditulis di spanduk-spanduk, poster-poster, dan baliho yang dipajang di lokasi-lokasi strategis.

Terang bulan terang di kali/Kami berani karena teruji

Begitu tertulis di poster dan spanduk-spanduk. Ada pula pantun lain yang isinya memilih kandidat tertentu dalam pilkada.

Dan, ketika Kompas membaca buku "Butang Emas" Warisan Melayu Kepulauan Riau, setebal 910 halaman, sambutan Wali Kota Tanjungpinang dan Lembaga Adat Melayu Kota Tanjungpinang disampaikan dengan cara berpantun. Sesuatu yang unik.

Negeri Pantun

Pemerintah Kota Tanjungpinang, 29 April lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, setelah menggelar sepekan Festival Pantun Serumpun (se-Asia Tenggara), mencanangkan Kota Tanjungpinang sebagai Negeri Pantun, dengan meluncurkan buku Negeri Pantun dan situs web Negeri Pantun.

Suryatati mengatakan, pantun adalah tradisi lisan yang terus dipelihara, dikembangkan, dan digiatkan, tidak hanya untuk kepentingan seremonial budaya belaka, tetapi telah mengakar dan menjadi sesuatu yang tak terpisahkan dari masyarakat Kota Tanjungpinang.

Menurut Suryatati, dengan berpantun, ada kedamaian. Tak akan ditemui kata-kata yang menyakitkan dalam pantun. Ini secara tak langsung menumbuhsuburkan budaya Melayu yang semakin dicintai masyarakat.

"Pantun adalah alat komunikasi yang penting untuk menyatakan perasaan orang-orang Melayu," kata Suryatati.

Tenas Effendy yang dijuluki "Bapak Pantun Melayu" mengatakan, bagi orang Melayu, pantun sudah mendarah daging. Mereka bukan saja arif menyimak makna yang terkandung, tetapi banyak pula yang mahir berpantun.

Ahli budaya melayu dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengatakan, pantun tercatat sebagai salah satu produk kebudayaan Melayu yang sejak lama menjadi obyek kajian para peneliti dari mancanegara. Pidato Hoesein Djajadiningrat pada peringatan sembilan tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, 28 Oktober 1933, mengungkapkan, pantun telah sejak tahun 1688 menarik perhatian para peneliti Barat.

Begitu ramainya peneliti (Barat) terjerat pesona pantun, maka niscaya ada sesuatu di baliknya yang menarik. Niscaya pula ada banyak kekayaan tersembunyi yang memang sepantasnya dibincangkan. Pantun seolah-olah telah memancarkan semacam mysterium tremendum et fascinosum, misteri yang dahsyat menggetarkan dan menakjubkan yang tiada habisnya menggoda para peneliti untuk terus mengungkap kekayaan maknanya, mencoba memahami estetika dan mungkin juga misteri yang berada di belakangnya.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved