Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Jakarta Mesti "Diselamatkan" : Konsep Megapolitan Opsi Terbaik

Format : Artikel

Impresum
- : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 18 Agustus 2008 | 01:20 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/18/01200395/jakarta.mesti.diselamatkan

Isi:

Jakarta, Kompas - Selama ratusan tahun, terlebih setelah pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) menghubungkan Batavia dengan ujung timur-barat Pulau Jawa, Jakarta selalu menjadi pusat pemerintahan dan perekonomian Nusantara.

Namun, pembangunan tanpa memperhitungkan kapasitas daya dukung lingkungan menyebabkan Jakarta kini berkubang masalah permukiman padat sarat masalah sosial dan lingkungan. Kisruh transportasi publik, buruknya pengelolaan sampah, minimnya ketersediaan air bersih, dan banjir. Jakarta harus segera diselamatkan atau suatu saat nanti akan hancur dan ditinggalkan.

Pengamat perkotaan dan transportasi dari Departemen Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Tri Tjahyono, mengungkapkan hal itu dalam perbincangan dengan Kompas akhir pekan lalu.

Secara mikro, beratnya masalah kota Jakarta terpapar jelas di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Dalam situs resmi Humas Jakarta Barat, Kelurahan Kalianyar di Tambora mempunyai wilayah seluas sekitar 31,08 hektar dan dihuni sekitar 627.926 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 8.726 jiwa per kilometer persegi.

Sekretaris Kecamatan Tambora Ali Maulana menjelaskan, setiap rumah sewa di Tambora, satu kamar dapat ditempati bergantian dalam tiga shift untuk tidur pada pagi, siang, dan malam.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatat jumlah penduduk di lima kota di Jakarta mencapai 7 juta jiwa dan sebanyak 93.000 keluarga atau sekitar 372.000 jiwa adalah warga miskin. Kemiskinan dan kepadatan penduduk berkorelasi dengan kriminalitas.

Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Barat Komisaris Polisi Suyudi Arioseto mengatakan, Kecamatan Tambora merupakan salah satu pusat kejahatan jalanan di Jakarta Barat, seperti penjambretan, penodongan, dan pencurian. Kawasan ini juga akrab dengan kebakaran dan peredaran narkoba.

Wilayah lain berpenduduk padat, seperti Kecamatan Taman Sari dan Kecamatan Cengkareng, atau Kecamatan Johar Baru di Jakarta Pusat pun memiliki persoalan serupa.

Sementara itu, buruknya sistem drainase dan pendangkalan, serta alih fungsi bantaran 13 sungai yang mengaliri Jakarta menyebabkan terjadi lebih dari 100 kali banjir besar di Jakarta sejak awal tahun 1970-an.

Banjir besar pada Februari 2007 menggenangi 70 persen wilayah Ibu Kota dan merenggut 54 korban jiwa, 27.381 orang sakit, dan kerugian triliunan rupiah karena banyak infrastruktur rusak, serta 15.300 hektar tanaman padi rusak di Bekasi.

Permasalahan transportasi akibat keterlambatan penyediaan sarana-prasarana infrastruktur transportasi, termasuk transportasi massal yang seharusnya diterapkan sejak tahun 1970-an, menyebabkan kemacetan nyaris setiap hari. Waktu terbuang percuma dan pekatnya polusi udara. Kerugian materi dan immateri akibat kemacetan tak ternilai.

Solusi terbaik

Dalam beberapa kesempatan, pengamat perkotaan dari Pusat Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, Bianpoen, mengatakan, belum ada satu gubernur pun yang dianggap mampu menelurkan kebijakan mengatasi berbagai masalah di DKI Jakarta. Meski perangkat hukum diperbarui dan pembiayaan terus dikucurkan, yang terjadi hanya masalah yang makin tumpang tindih.

Menurut Tri Tjahyono, permasalahan yang membebani itu menyebabkan Jakarta muncul sebagai kota dengan ekonomi biaya tinggi yang susah bersaing dan lambat laun ditinggalkan investor.

"Yang bisa dilakukan segera untuk mempertahankan keseimbangan daya dukung lingkungan adalah mengatur persediaan air dan mengintegrasikan transportasi publik yang sudah ada. Jangan dulu berpikir memindahkan pusat pemerintahan atau pusat perekonomian," kata Tri Tjahyono. (ong/nel)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved