Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Pembangunan jalan tol trans Jawa

Format : Artikel

Impresum
Darmaningtyas - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Koran Tempo: Rabu, 23 Februari 2008
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2008/02/23/Opini/krn.20080223.123782.id.html

Isi:

Pemerintah pusat membuat dua kebijakan yang kontradiktif. Di satu pihak lewat Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mendorong penghematan pemakaian bahan bakar minyak dengan cara memotong subsidi untuk tiga jenis bahan bakar, yaitu premium, minyak tanah, dan solar, dan melalui Departemen Pertanian mendorong terwujudnya swasembada pangan. Tapi di lain pihak, melalui Departemen Pekerjaan Umum (DPU), pemerintah mendorong terwujudnya jalan tol Trans Jawa sepanjang lebih dari 1.000 kilometer. Padahal kebijakan ini jelas bertentangan dengan kebijakan penghematan BBM karena pembangunan jalan tol itu secara otomatis akan memicu penggunaan mobil pribadi. Dan peningkatan penggunaan kendaraan pribadi berarti memboroskan BBM.

Jalan tol dibangun memang untuk memfasilitasi pergerakan mobil pribadi yang lebih banyak. Angkutan umum, terutama untuk jarak pendek, tidak dapat melewatinya karena tidak dapat menaikkan dan menurunkan penumpang di sembarang tempat. Dengan demikian, pembangunan jalan tol Trans Jawa itu secara otomatis akan meningkatkan penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi, dan pemerintah harus memberikan subsidi lebih besar kepada para pemilik kendaraan pribadi tersebut.

Bila pemerintah mau konsisten menghemat penggunaan BBM, yang dilakukan bukan membangun jalan tol, melainkan membangun angkutan umum yang baik agar aman, nyaman, tepat waktu, dan terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Baik di kota maupun di desa, bila tersedia angkutan umum yang baik dan mudah diakses, minat orang untuk membeli kendaraan pribadi pun akan rendah. Tingginya minat masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi--yang memboroskan BBM--umumnya karena layanan angkutan umum terbatas dan tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Karena itu, pembatasan penggunaan BBM mestinya terbatas pada kendaraan pribadi saja, tidak untuk angkutan umum. Sebab, pembatasan penggunaan BBM untuk angkutan umum akan berisiko makin memperburuk kondisi angkutan umum, sehingga masyarakat makin tidak punya pilihan untuk melakukan mobilitas geografis yang hemat BBM.

Perbaikan dan optimalisasi layanan angkutan umum massal serta pembatasan penggunaan kendaraan pribadi akan mengurangi penggunaan BBM secara signifikan, karena data menunjukkan bahwa dari total alokasi BBM untuk kendaraan bermotor, mayoritas, atau dua pertiganya adalah untuk kendaraan pribadi. Di perkotaan, seperti Jakarta dan Surabaya, pembatasan penggunaan kendaraan pribadi juga dapat mengurangi kepadatan lalu lintas.

Kecuali perbaikan angkutan umum, fasilitas untuk moda angkutan tidak bermotor, seperti sepeda, becak, dan atau dokar yang tidak menggunakan BBM dan tidak berpolusi, juga harus dikembangkan agar masyarakat memiliki alternatif untuk melakukan mobilitas geografis secara mudah dan murah serta tidak membebani negara. Tapi inilah ironisnya di Indonesia. Hal yang membawa kemaslahatan untuk seluruh bangsa tidak dikembangkan, bahkan jalur sepeda di banyak daerah dihapuskan, tapi hal yang membawa kehancuran justru dikembangkan, seperti pembangunan jalan tol Trans Jawa.

Bencana

Pembangunan jalan tol Trans Jawa, selain akan memboroskan penggunaan BBM untuk kendaraan pribadi, akan menimbulkan bencana yang lebih besar lagi berupa kerusakan lingkungan, mengganggu swasembada pangan, dan proses pemiskinan yang massif. Ambil contoh jalan tol Semarang-Solo dan Ngawi-Solo. Kedua jalan tol itu akan melintasi daerah pertanian yang subur, yang selama ini menjadi salah satu andalan penghasil padi di daerah masing-masing. Jalan tol Semarang-Solo akan menghancurkan beberapa situs dan menggusur tiga pabrik. Sedangkan tol Solo-Ngawi akan menggusur lahan pertanian dan beberapa sekolah dasar. Bila tanah-tanah yang subur itu digilas untuk jalan tol, demikian pula pabrik yang menampung ribuan tenaga kerja itu digusur untuk jalan tol, jelas itu akan mengurangi jumlah produksi padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta akan melahirkan angka pengangguran dan kemiskinan baru.

Bahkan pembebasan lahan dari warga petani itu pun secara otomatis merupakan proses pemiskinan, karena petani yang tergusur harus pindah dan belum tentu mereka memperoleh tempat yang lebih subur. Sebab, harga tanah mereka dibayar murah (sesuai dengan NJOP); padahal, ketika membeli tanah baru, harganya lebih mahal (sesuai dengan harga pasar).

Pembangunan jalan tol Trans Jawa ini memang suatu ironi besar, karena Jawa memiliki jaringan rel kereta api yang bagus dan belum dimanfaatkan secara optimal, hanya berfungsi pada malam hari dan pada siang hari lebih banyak kosongnya. Bila kebutuhan pemerintah adalah memperlancar lalu lintas, termasuk lalu lintas barang, tidak perlu membangun jalan tol Trans Jawa, tapi cukup mengoptimalkan penggunaan jaringan rel kereta api yang sudah ada saja.

Optimalisasi jaringan rel di Jawa itu dapat meningkatkan produktivitas PT Kereta Api, mengerem penggunaan BBM dalam sektor transportasi, tidak merusak lingkungan, tidak menciptakan proses pemiskinan baru di masyarakat, serta tidak memerlukan investasi yang besar. Pemerintah tinggal berinvestasi untuk perbaikan jaringan rel yang rusak serta menambah gerbang dan lokomotif baru. Ini bila kepentingan membangun tol Trans Jawa itu adalah untuk memperlancar lalu lintas orang maupun barang.

Tapi bila kepentingannya adalah bisnis jalan tol, pembangunan tol Trans Jawa merupakan suatu keharusan untuk dilaksanakan karena sangat menguntungkan. Captive market-nya sudah jelas: kendaraan pribadi dan angkutan barang. Tapi janganlah memakai kedok kepentingan masyarakat untuk mendapatkan keuntungan besar tersebut. Sebab, yang terjadi sesungguhnya adalah masyarakat akan dirugikan oleh adanya pembangunan jalan tol Trans Jawa tersebut. Yang diuntungkan oleh pembangunan jalan tol Trans Jawa itu adalah bank yang mengucurkan kreditnya, kontraktor, pejabat, dan jasa marga yang akan mengoperasikan jalan tersebut.

Akhirnya kita hanya dapat berharap agar pemerintah konsisten dalam membuat kebijakan. Bila secara nasional pemerintah ingin mengurangi penggunaan BBM, infrastruktur yang akan dibangun harus sejalan, yaitu infrastruktur yang memfasilitasi angkutan umum massal dan kendaraan tidak bermotor. Pilihan pada perbaikan dan pengembangan jaringan rel yang sudah ada atau menambah jaringan rel, pengembangan infrastruktur untuk angkutan tidak bermotor, merupakan pilihan yang cerdas dan bijak. Demikian pula bila ingin mewujudkan swasembada pangan, lahan subur jangan dikonversi untuk jalan tol, perumahan, atau mal.

Kebijakan sekarang yang bernafsu membangun tol Trans Jawa jelas merupakan kebijakan yang penuh ironi, berlawanan dengan kebijakan menghemat BBM dan penciptaan swasembada pangan, mengingat jalan tol itu mendorong penggunaan kendaraan pribadi dan lokasi jalan tol itu menggusur lahan-lahan pertanian yang subur. Saatnya masyarakat bersuara untuk menghentikan kepentingan para pedagang tersebut.

Oleh: Darmaningtyas, Ketua Bidang Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved