Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Kerugian akibat sanitasi buruk capai Rp56 triliun

Format : Artikel

Impresum
- : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Media Indonesia: Jum\'at, 21 Desember 2008

Isi:

PERMASALAHAN sanitasi di Indonesia sampai saat ini masih belum teratasi dengan baik. Akibatnya, tidak saja berjangkit sejumlah penyakit yang mematikan, tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia untuk wilayah Asia-Pasifik untuk program sanitasi air, dampak dari buruknya sanitasi, Indonesia kehilangan potensi ekonomi cukup besar, mencapai Rp56 triliun per tahun.

Kerugian ekonomi itu antara lain dipicu akibat terjadinya 120 juta kasus penyakit dan 50 ribu kematian dini per tahun. Potensi ekonomi hilang karena masyarakat yang terkena penyakit akibat sanitasi buruk tidak bisa bekerja dan malah mengeluarkan biaya untuk berobat. Salah satu kasus penyakit terbesar itu adalah diare. Sedikitnya 90 juta orang terserang diare dan 23 ribu orang meninggal per tahun.

''Buruknya sanitasi menyebabkan masyarakat harus mengeluarkan biaya Rp29,5 triliun per tahun untuk biaya kesehatan, beban biaya akibat pencemaran air Rp14 triliun, dan Rp10,6 triliun untuk biaya akses mencapai lokasi buang air besar serta antre di toilet umum, dan kehilangan pemasukan dari sektor wisata Rp1,5 triliun,'' ujar Regional Communication Specialist World Bank Yosa Yuliarsa, pada seminar Sanitasi, Air, dan Kesejahteraan Masyarakat di Jakarta, baru-baru ini. Seminar diadakan dalam rangka Tahun Sanitasi Internasional 2008 yang telah ditetapkan PBB.

Hasil penelitian yang baru diterbitkan Oktober 2008 itu, lanjut Yosa, juga menunjukkan sekitar 45% penduduk Indonesia tidak memiliki akses yang layak pada sarana sanitasi. Artinya, lebih dari 100 juta penduduk belum memiliki akses ke sarana sanitasi memadai.

Data Badan Pusat Statistik 2006, tambahnya, juga menunjukkan kondisi serupa, yakni baru 55% rumah tangga memiliki akses sanitasi ke kakus (toilet) secara baik.

Ketika menanggapi hasil penelitian itu, Direktur Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DPU) Budi Yuwono P mengakui bahwa masalah sanitasi merupakan hal sangat serius. ''Dari sekitar 120 ribu kasus kematian balita per tahun, sebanyak 30% (31.200 balita) meninggal dunia akibat diare,'' jelas Budi Yuwono.

Karena kondisi itulah, tambah Budi, program pembangunan sanitasi ke depan yang dilakukan Direktorat Penyehatan Lingkungan, Sanitasi, dan Pencemaran Air, Ditjen Cipta Karya, DPU, diarahkan pada perubahan perilaku masyarakat tentang pentingnya sanitasi.

Di sisi lain, ia juga mengakui anggaran pemerintah untuk perbaikan sanitasi sangat kecil, kurang dari Rp100 miliar per tahun. Padahal, jumlah yang dibutuhkan diperkirakan mencapai triliunan rupiah.

Pada bagian lain, kesadaran masyarakat tentang pentingnya sanitasi memang masih sangat rendah. Di Yogyakarta, misalnya, dua sistem sanitasi yang dibangun Pemerintah Kota Yogyakarta, yakni offsite dan onsite belum dimanfaatkan secara maksimal. Sistem offsite adalah fasilitas instalasi pengelolaan air limbah (IPAL) yang dipusatkan di Sewon, Bantul, sedangkan onsite adalah pengelolaan limbah mandiri melalui pembuatan septic tank dan pembuatan pipa komunal.

"Dari sarana sanitasi yang dibuat ternyata respons masyarakat masih sangat rendah. Untuk pipa komunal, misalnya, masih dipakai untuk 20-25 keluarga, padahal targetnya untuk 50-75 keluarga," ujar Community Base Water and Sanitation Specialist, Environmental Services Program Yogyakarta, Oni Hartono, kemarin.

Padahal upaya itu dilakukan Pemkot Yogyakarta untuk memperkecil kasus penyakit diare yang mencapai 36 ribu anak balita per tahun.
(Heru Primantoro/SO/EM/BS/FL/PO/AO/Che/S-3)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved