Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Pemekaran belum bawa perubahan...

Format : Artikel

Impresum
Budiawan Sidik A dan Indah Surya Wardhani - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 11 Februari 2008 | 03:01 WIB

Isi:

Ibarat arus liar, proses pemekaran daerah dalam waktu tujuh tahun terakhir mengalir tidak terkendali. Pembentukan daerah baru sejatinya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik di daerah. Namun, mayoritas publik di daerah pemekaran itu justru menilai pascapemekaran belum ada perubahan berarti pada dua hal tersebut.

Sejak digulirkannya kebijakan pemekaran daerah tahun 1999 hingga sekarang, tercatat 179 daerah baru terbentuk, terdiri dari tujuh provinsi, 31 kota, dan 141 kabupaten.

Pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa selama Orde Baru menyulut semangat pemerataan pembangunan di daerah di luar Jawa. Ini tercermin dari antusiasme pemekaran daerah di luar Jawa, pascaruntuhnya rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Selama enam tahun terakhir, sekitar 95 persen daerah otonom baru muncul di luar Jawa.

Sebaran daerah otonom baru paling banyak di Pulau Sumatera, yakni sebanyak 26 persen dari total daerah otonom baru, disusul Sulawesi (17 persen), Papua (15 persen), dan Kalimantan (14 persen). Selebihnya tersebar di Nusa Tenggara (5 persen) dan Maluku (7,3 persen).

Proses pemekaran daerah selama ini tidak memiliki rancangan besar sebagai pijakan ideal. Akibatnya, alih-alih mendekatkan pelayanan publik pada rakyat, pemekaran lebih banyak menjadi arena perebutan kekuasaan elite lokal.

Kecurigaan itu setidaknya disuarakan mayoritas responden yang terjaring dalam jajak pendapat yang diselenggarakan 5-6 Februari 2008 terhadap 1.034 pengguna telepon. Sebanyak 60,5 persen responden menilai pemekaran daerah selama ini lebih banyak dijadikan komoditas politik yang menguntungkan kelompok politik tertentu.

Hasil penelisikan terhadap konsentrasi daerah otonom baru menunjukkan sebaran daerah pemekaran berada di pulau yang menjadi basis kuat Partai Golkar pada Pemilu 2004. Sebut saja di Sumatera yang memiliki daerah otonom baru terbanyak, Partai Golkar menang di tujuh dari delapan provinsi dengan perolehan suara rata-rata 22,5 persen.

Demikian halnya di Sulawesi, enam provinsi di pulau ini dikuasai Partai Golkar dengan perolehan rata-rata 41,6 persen. Sedangkan di Kalimantan, empat provinsi dikuasai dengan rata-rata 24,5 persen suara.

Di Pulau Jawa yang relatif tidak banyak memiliki daerah otonom baru, Partai Golkar hanya mendulang suara rata-rata 15,8 persen. Partai ini hanya mampu memenangi pemilu di Jawa Barat.

Evaluasi

Problem pemekaran direspons pemerintah dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. PP ini antara lain mengatur syarat administrasi, teknis, dan fisik kewilayahan yang lebih berat. Namun, upaya ini belum berhasil menahan laju pemekaran daerah.

Salah satu kendalanya adalah belum adanya aturan soal evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai bagian dari proses pembentukan atau penghapusan daerah baru. Selain itu, prosedur pengusulan pemekaran yang berlaku selama ini ditengarai menjadi celah terjadinya tarikan kepentingan dalam proses pemekaran.

Oleh karena itu, sejumlah kalangan mendorong penyempitan pintu usulan pemekaran. Selama ini, usul pemekaran terbuka dari tiga pintu, yakni Departemen Dalam Negeri, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan DPR. Kondisi ini dinilai yang menjadi sumber tarik ulur kepentingan politik dalam setiap usulan pemekaran.

Publik pun menilai proses pemekaran daerah sarat dengan tarikan kepentingan yang lebih bersifat elitis. Sekitar enam dari sepuluh responden berpendapat pemekaran, sebetulnya, lebih merepresentasikan keinginan elite politik ketimbang aspirasi masyarakat. Hanya sebagian kecil responden (33,4 persen) yang beranggapan pemekaran daerah itu akan menguntungkan masyarakat.

Soal birokrasi

Pemekaran daerah yang berlangsung selama ini, meskipun menumbuhkan keyakinan dan harapan baru akan perbaikan, belum banyak mengubah wajah pelayanan birokrasi di lapisan terbawah. Padahal, salah satu substansi pemekaran adalah memperpendek jarak birokrasi dengan rakyat.

Pendapat publik di daerah pemekaran seolah terabaikan. Pemekaran daerah belum mampu meningkatkan pelayanan birokrasi di daerah mereka. Publik tampak gamang menyikapi pemekaran di daerah mereka. Di satu sisi, ada keyakinan yang cukup kuat pemekaran akan mengubah pelayanan pemerintah pada masyarakat menjadi lebih baik, tetapi di sisi lain mereka terbentur pada kenyataan masih minimnya perbaikan yang dirasakan.

Kecuali, terhadap aspek pembangunan sarana fisik, seperti jalan atau fasilitas umum lainnya, sebagian besar responden di wilayah pemekaran pada umumnya menilai beberapa kondisi lain tidak mengalami perubahan berarti ketimbang sebelumnya. Rata-rata hanya satu di antara tiga responden yang menilai pengelolaan sumber daya alam, stabilitas politik, dan penegakan hukum lebih baik dibandingkan dengan sebelum pemekaran. Terhadap kondisi perekonomian, tampaknya masyarakat juga masih ragu untuk memberi apresiasi positif. Hal yang sama juga dirasakan dalam aspek penilaian terhadap pelayanan birokrasi. Pendapat publik terbelah antara penilaian "lebih baik" dan "sama saja".

Tingkat keyakinan publik pun terpecah pada keraguan, pemekaran akan memeratakan pembangunan di daerah. Selama ini pun belum ada evaluasi mendalam yang dilakukan pemerintah untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan daerah yang dimekarkan.

Oleh karena itu, beralasan jika gencar dorongan agar pemerintah sementara meredam dan menelaah kembali "banjir" usulan pemekaran daerah. Selain itu, secepatnya merumuskan desain besar program pemekaran daerah sehingga dapat menjadi kerangka acuan yang ideal bagi pengembangan wilayah negeri ini. (Litbang Kompas)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved