Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Menelusuri Kota Tua Ala Belanda

Format : Artikel

Impresum
Aryo Wisanggeni Genthong - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 4 Agustus 2008 | 21:29 WIB
http://www.kompas.com/read/xml/2008/08/04/21294133/menelusuri.kota.tua.ala.belanda

Isi:

Begitu kaki para penumpang perahu bermotor (long boat) menjejak Pulau Doom, belasan pengayuh becak langsung menawarkan jasa. Tanpa tawar-menawar, sebagian penumpang, yaitu ibu-ibu yang pulang berbelanja di Kota Sorong itu, langsung naik becak.

Sebagian yang lain, kaum muda atau para bapak yang tanpa barang bawaan, memilih berjalan kaki. Toh tidak ada jarak yang jauh di Pulau Doom yang kecil. Untuk mengelilingi pulau itu Anda cukup berjalan kaki selama 45 menit.

Namun, menumpang becak di Pulau Doom menjadi keunikan tersendiri karena di Kota Sorong becak hanya dapat ditemukan di pulau tersebut. Tidak ada becak di pulau lain di Distrik Kepulauan Sorong. Di Kota Sorong pun tak ada becak. Meski jarak tempuh Sorong-Pulau Doom dengan long boat hanya 15 menit, nyatanya tidak pernah ada pengayuh becak yang mencoba peruntungan di Kota Sorong.

Walaupun keruwetan bangunan rumah baru mulai tampak, sisa-sisa pemandangan jajaran blok perumahan yang tertata rapi terlihat di sepanjang jalanan kecil di Pulau Doom. Pemandangan itu layaknya pemandangan kota tua di Jakarta (Batavia) atau Surabaya. Pemandangan khas tata kota ala Belanda.

Tata kota

Pulau Doom memang menikmati keterampilan Belanda menata kota. Meski lingkar luar pulau itu panjangnya hanya sekitar 4,5 kilometer, Belanda menata kota bekas pusat pemerintahan Onderafdeling (subbagian) Raja-Ampat itu dengan apik. Di pulau tersebut ada lapangan sepak bola serta toko kelontong Sorong Baru, yang pada tahun 1950 terkenal dengan es krimnya yang lezat. Bahkan di pulau kecil itu ada satu gedung yang disebut Gedung Kesenangan, yakni tempat serdadu Belanda melepas lelah dengan berenang,bermain tenis, atau berdansa.

Infrastruktur penunjang pulau itu juga dibangun. Sebuah sumur air lengkap dengan instalasi pipa yang memompa air minum ke rumah para pejabat pemerintahan Niugini-Belanda di kawasan perbukitan Pulau Doom dibangun di belakang kantor Hoofd van Plaatselijk Bestuur (HPB) Sorong. Kantor HPB Sorong kini menjadi Kantor Distrik Sorong Kepulauan. Satu pembangkit listrik tenaga diesel juga dibangun dan listrik pun mengaliri pelabuhan, kawasan pergudangan, dan semua permukiman di Pulau Doom.

"Saya masih ingat, saat saya kecil Kota Sorong masih gelap gulita, sementara Pulau Doom terang benderang oleh lampu listrik. Orang Sorong menyebut pulau ini pulau bintang karena gemerlapan di kala malam," ujar Abdul Halik Warwei (88), yang menjadi tetua Pulau Doom.

Junus Sarlout (47), salah satu warga kelahiran Pulau Doom, pun masih ingat bagaimana Pemerintah Niugini-Belanda mengatur pulau yang menjadi pusat pergudangan dan pelabuhan perdagangan Sorong di tahun 1950-an itu.

"Setiap orang yang memasuki pulau ini harus mengurus izin tinggal. Jika ia tidak bekerja di salah satu maskapai di Pulau Doom, berarti orang tersebut harus menjelaskan berapa hari ia akan tinggal di Pulau Doom. Jika lewat batas waktu yang ditentukan orang yang bersangkutan belum meninggalkan Pulau Doom, ia akan dicari dan dipulangkan," kata Junus Sarlout.

Di Pulau Doom kita tidak hanya bisa menapaki sisa-sisa bangunan tua peninggalan Belanda. Di pulau itu juga kita bisa mendapati belasan atau mungkin puluhan lorong bawah tanah buatan tentara Jepang pada masa Perang Dunia II. Belasan lorong tersebut menghubungkan beberapa titik bungker pertahanan udara tentara Jepang, juga menghubungkan infrastruktur vital seperti pelabuhan laut.

Sisa bungker pertahanan udara masih dapat ditemukan di rumah Rahman Kare (49). Rumah yang merupakan rumah tua juga pernah dijadikan markas tentara Jepang.

Jejak sejarah yang kabur

Meski beberapa orang tua masih bisa bercerita bagaimana Pulau Doom menjadi ibu kota HPB Sorong, aparatur pemerintah di Pulau Doom tidak lagi menyimpan catatan sejarah pemerintahan. Sekretaris Distrik Sorong Kepulauan Robert Sarlout pun menyatakan tidak banyak catatan yang mampu menjelaskan sejarah Pulau Doom sebagai ibu kota HPB Sorong. Junus Sarlout menuturkan, sebelum kedatangan Belanda, Pulau Doom merupakan pulau milik bangsawan Maluku, keluarga Malibela. Penghuni awal pulau itu adalah mereka yang ditugaskan mengawasi dua pulau lain yang juga milik keluarga Malibela, yaitu Pulau Soop dan Pulau Nana Selatan.

Pada tahun 1863 pulau itu mulai tercatat dalam dokumen Belanda. Dinyatakan, Dr HA Bernstein mengumpulkan materi studi kebudayaan bagi Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden. Selain mengunjungi Pulau Doom, Bernstein juga mengunjungi Pulau Batanta, Salawati, Ram, Tjiof, dan Remu. Juga Tanjung Sele di daratan Papua.

Berdasarkan berbagai dokumen sejarah pemerintahan Belanda di Niugini-Belanda, pada Januari 1935 Gubernemen Maluku disahkan menjadi residensi. Saat itu dibentuk onderafdeling (subbagian) di bekas wilayah Noord-Nieuw-Guinea, yaitu onderafdeling Hollandia, Serui, Manokwari, Sorong, dan onderafdeling West-Nieuw-Guinea.

Di masa itu ibu kota Onderafdeling Sorong berada di Pulau Doom, yang disebut sebagai Sorong-Doom. Pasca era Jepang, setelah Belanda kembali berkuasa pada tahun 1950-1952, pemerintahan di Sorong diperintah langsung Residen West-Nieuw-Guinea di Manokwari.

Para penutur sejarah Pulau Doom pun tidak bisa menjelaskan secara runtut sejarah pemerintahan, sejarah kehadiran Naamlose Venoodschap Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Maatschappij (NVNNGPM) di Pulau Doom dan Sorong, atau ramainya kawasan pergudangan dan pabrik kopra di Pulau Doom.

Kekaburan sejarah bukan hanya terlihat dari sedikitnya dokumen sejarah yang mampu mengisahkan perjalanan Pulau Doom. Pelestarian kawasan permukiman yang dibangun Belanda di pulau itu, termasuk Gereja Orange, gedung kantor bekas HPB Sorong, dan Onderafdeling Raja- Ampat, atau Gedung Kesenangan, lapangan tenis, atau sisa bangunan pertahanan tentara Jepang di Pulau Doom juga tidak dilakukan.

Bangunan Gereja Orange saat ini masih berdiri dengan arsitektur klasik gereja bangunan Belanda. Sayang, gereja tua berdinding gaba- gaba (pelepah sagu) tersebut kini tidak lagi difungsikan sebagai gereja. "Gereja yang dibangun pada tahun 1911sampai 1913 itu kini menjadi Pusat Pembinaan Warga Gereja Jemaat Bethel Doom. Jemaat telah memindahkan aktivitas gereja ke puncak bukit Pulau Doom," ujar Junus Sarlout.

Gedung kantor bekas HPB Sorong dan Onderafdeling Raja-Ampat hingga kini masih menjadi kantor pemerintahan Distrik Sorong Kepulauan. Akan tetapi, pemerintah telah memugar bangunan itu, dan pemugaran tersebut telah memotong bangunan aslinya. Bangunan asli nyaris sulit dikenali karena terpotong gedung baru yang mengabaikan arsitektur gedung lama.

Nilai sejarah

Beberapa warga Pulau Doom sebenarnya menyadari nilai sejarah bangunan tua di pulau tempat mereka tinggal. Rahman Kare, misalnya, hingga kini tidak mengubah bentuk rumahnya. Ia juga membiarkan bungker pertahanan udara yang ada di halaman rumahnya meski lubang bungker itu sebagian telah tertutup tanah.

"Ada petugas dari Dinas Pariwisata Kota Sorong yang sudah mendatangi rumah saya. Mereka meminta saya tidak memugar rumah saya. Masalahnya, beberapa bagian dinding gaba-gaba mulai lapuk," ujar Rahman yang tidak pernah menerima bantuan biaya perawatan rumah tuanya.

Sisa bangunan tua yang masih terawat antara lain Kantor Kepolisian Sektor Sorong Kepulauan dan Gedung Sekolah Dasar YPPK Stella Maris. Di sekeliling lapangan sepak bola Pulau Doom, yang juga diyakini para penduduk Pulau Doom sebagai lapangan sepak bola tertua di Papua, juga masih banyak rumah penduduk sisa peninggalan masa penjajahan Belanda.

Seiring bertambahnya arus migrasi dan bertambahnya angka kelahiran, lemahnya penataan ruang Kabupaten Sorong pascapeninggalan Belanda, perlahan tetapi pasti Pulau Doom mulai ruwet. Bangunan rumah tinggal baru yang tidak serasi dengan bangunan lama bermunculan di mana-mana.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved