Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Asinan Betawi, Tidak Seketika Populer...

Format : Artikel

Impresum
C Windoro AT - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 17 September 2008 | 18:12 WIB
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/17/18124966/asinan.betawi.tidak.seketika.populer...

Isi:

Siapa bilang nasib kuliner Betawi sama dengan kudapan kerak telor yang merana? Coba klik portal para penggila kudapan di Jakarta, Jajan.Com. Sampai Jumat (5/9), dari 15 tempat kudapan terpopuler di Jakarta, lima tempat di antaranya bermenu Betawi.

Ada Soto Mie Sarodja di Jalan Danau Tondano, Pejompongan, Jakarta Pusat. Gado-gado Taman Sari di Lantai 2 Harco Mangga Dua Pujasera, Jakarta Barat, Sop Sumsum Kambing Proklamasi di bawah rel kereta api Tugu Proklamasi, Jakpus, dan Asinan Kamboja resep Bang Mansyur di Jalan Taman Kamboja III No 10, RT 8 RW 11, Rawamangun, Jakarta Timur.

Menurut Ayu, salah seorang mantu Mansyur yang ditemui Kamis (4/9) sore, omzet warung Asinan Kamboja naik dua kali lipat setiap bulan Ramadhan. "Kalau pada hari biasa kami setiap hari berbelanja bahan sebanyak sejuta rupiah, maka setiap Ramadhan, kami bisa menghabiskan uang Rp 2 juta lebih untuk membeli bahan," paparnya.

Meski pelanggan naik dua kali lipat, jam buka warung pada bulan suci itu justru lebih pendek. Kalau pada hari biasa warung buka pukul 09.00-22.00, pada bulan Ramadhan buka pukul 11.00-19.00. Akibatnya, di samping warung penuh sesak menjelang jam buka puasa, antrean pembeli pun memanjang sejak pukul 16.00.

Beruntung, Mansyur memiliki banyak cucu yang loyal pada usahanya. "Memang lebih sibuk melayani pelanggan di bulan Ramadhan. Tapi karena bantuan tenaga para keponakan, kerja menjadi lebih ringan dan menyenangkan," kata Ayu.

"Nendang" kacangnya

Pelanggan Asinan Kamboja bukan hanya datang dari sekitar Rawamangun, tetapi juga dari sudut Jakarta dan Bekasi. Sebagian besar pelanggan Asinan Kamboja membawa asinan pulang. "Umumnya saya membeli sampai 10 bungkus. Maklum, tetangga pada nitip juga," tutur Iwan (41) yang tinggal di Bekasi.

Pembeli lainnya, Sulaiman (45), mengaku, setiap ia ke rumah saudaranya di Palembang, ia selalu diminta membawa Asinan Kamboja. "Saya bawa sampai 20 bungkus asinan ke Palembang dengan pesawat. Pernah saya lupa membawa asinan ke Palembang, akibatnya saudara-saudara pasang muka asam pada saya," jelas warga Paseban, Jakpus itu.

Kuah asinan Mansyur berbeda dengan kuah asinan betawi umumnya. Kuah asinan betawi umumnya memakai kuah cuka pedas, encer, dan bening, sedangkan Mansyur menggunakan bumbu kacang dalam kuah asinan buatannya. Warna kuahnya menjadi coklat kemerahan setelah dicampur gula merah, dan cabai. "Kacang digoreng, lalu digiling bersama cabai yang sudah direbus. Gilingan dicampur air cuka dan garam, lalu diguyur gula merah," jelas ayu. "Bumbu kacangnya nendang banget di tengah rasa 'nano-nano'-nya," kata Iwan.

Meski demikian, isi asinan Mansyur sama seperti isi asinan betawi umumnya, yaitu irisan kol, daun selada, timun, taoge, irisan tahu putih, kerupuk mi, dan kerupuk pemanis warna-warni. Bedanya, "Agar racikan segar, kami belanja mendadak. Maklum, sayurannya kan mentah semua. Sedikit layu, pelanggan bisa pergi," kata Ayu.

Tak seketika

Asinan Kamboja warisan Mansyur tak seketika populer seperti saat ini. Butuh waktu 10 tahun sebelum populer. Awalnya, sekitar tahun 1968, Mansyur berjualan asinan keliling. Karena permukiman masih sedikit, Mansyur berjualan sampai Pasar Jatinegara, Jaktim.

Tahun 1980-an Mansyur memutuskan berhenti berjualan keliling. Ia lalu menjadikan rumahnya sebagai warung asinan. "Sepuluh tahun setelah berjualan di rumah, usaha mertua saya mulai dikenal luas. Jadi tak seketika populer," ucap Ayu.

Tak seketika populer. Itu juga dialami Hasan, penjual asinan betawi lainnya yang berpuluh tahun mangkal di pertigaan Jalan Rawa Belong, Palmerah Barat, Jakarta Barat. Ia mulai berjualan asinan sejak tahun 1943 saat ia berusia 14 tahun. Tahun 2005, pembuat asinan yang dikenal sebagai penjual Asinan Rawa Belong ini menjadi juara kedua lomba hidangan asinan kaki lima se-Jakarta yang diadakan sebuah hotel di Jakarta.

Di Jakarta Selatan, seperti halnya keluarga besar Mansyur, Ibu Siti, Anih, dan Inah mewarisi kepiawaiannya meracik asinan betawi dari almarhum kakek mereka, Kiding. Asinan mereka dikenal sebagai Asinan Jembatan Merah (sekarang namanya Jalan Menteng Pulo), tepatnya di pintu masuk Gang Sadar, Jalan Saharjo.

Asinan Jembatan Merah sudah ada sejak lebih dari 50 tahun lalu. Tak heran bila pelanggan yang datang berasal dari kalangan sepuh sampai yang muda. Isi asinan betawi Kiding beda dengan isi asinan betawi Mansyur maupun Hasan.

Asinan betawi Kiding terdiri dari taoge, kol, sawi cina, tahu, dan timun yang sudah direndam air cabai dan cuka. Di atas asinan ditebar kacang tanah goreng, lalu diguyur lelehan gula jawa, sambal, sedikit garam, dan kuah cuka.

Seperti umumnya sajian asinan betawi, sajian dibungkus, dan disantap di rumah. Hingga kini, para waris Kiding masih mempertahankan kebiasaan lama Kiding menggunakan daun pisang sebagai pembungkus.

Asinan Kamboja, Asinan Rawa Belong, maupun Asinan Jembatan Merah, tak seketika populer. Mereka menjadi bagian dari legenda Jakarta lewat ketekunan, kerja keras, dan pengalaman panjang. Cobalah sajian orang-orang luar biasa itu.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved