Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Ekspedisi 200 Tahun Anjer-Panaroekan : Bogor Tak Lagi Pas untuk Bersantai

Format : Artikel

Impresum
Nawa Tunggal; Siwi Yunita Cahyaningrum; Neli Triana; Iwan Santosa; Ratih P Sudarsono - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 19 Agustus 2008

Isi:

Sejak tahun 1745, dan terutama ketika Bogor berkembang pesat setelah diambil alih Gubernur Jenderal Hindia Belanda Willem Daendels tahun 1808, tanah Buitenzorg atau Kota Bogor terkenal sebagai tempat bersantai yang dikelilingi perkebunan kopi dan teh. Namun, Bogor kini adalah kota padat penduduk dengan lalu lintas semrawut atau perbukitan makin gundul karena diganti "hutan vila" yang daya dukung lingkungan makin terpangkas.

"Bogor sudah tidak pas lagi sebagai tempat bersantai. Padahal, nama kota ini dulu, Buitenzorg, berarti tempat untuk bersantai. Saat saya masih kecil, kalau masuk Bogor, langsung nyess dingin," kata Direktur Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor Irawati, Jumat (15/8).

Akhir pekan lalu, pemandangan pertama yang menyambut Tim Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan saat menyusuri Kota Bogor adalah kemacetan di jalan utama antara Terminal Baranangsiang dan Kebun Raya Bogor. Hampir di setiap perempatan lampu merah disesaki angkutan umum.

Foto udara yang ditunjukkan Irawati juga menegaskan padatnya Bogor. Atap-atap genteng menutup sekeliling Kebun Raya Bogor. Hampir tak terlihat lagi jalur hijau di Bogor.

Pemerhati Kota Bogor dari Studio Amici Raden Saleh, Dayan D Layuk Allo, sangat mencemaskan kelangsungan Kebun Raya Bogor seluas 87 hektar itu. "Pepohonan di Kebun Raya tidak akan dapat bersaing dengan pompa-pompa air masyarakat di sekelilingnya untuk memanfaatkan air tanah," ujar Dayan.

Mandek

Jauh lebih penting dari sekadar kelangsungannya, sekarang ini terjadi kemandekan riset perkebunan yang sebelumnya dikembangkan di Kebun Raya Bogor. Misalnya tanaman perkebunan dari berbagai negara berupa teh, kopi, atau karet, pada awalnya ditanam di Kebun Raya itu untuk penelitian pengembangan komersial. "Saat ini penelitian tanaman memang lebih banyak pada tanaman hias," kata Irawati, membenarkan makin sedikitnya riset untuk tanaman perkebunan saat ini.

Menurut Irawati, Kebun Raya Bogor pada pertengahan 1800-an hingga 1900-an awal masih dikelilingi persawahan dan perkebunan. Berubahnya Kota Bogor menjadi kawasan padat dan sarat permasalahan urbanisasi itu sekarang hampir sama dengan yang dihadapi Jakarta. Ini terjadi karena tidak ada konsistensi di dalam pertumbuhan Bogor yang berpotensi sebagai kota riset pertanian dan perkebunan.

Dalam Het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14 disebutkan, setelah mengambil alih tanah perkebunan Buitenzorg dan merenovasi vila menjadi istana resmi gubernur (Istana Bogor), Daendels membagi wilayah Bogor menjadi beberapa petak, seperti Ciomas, Cicurug, Darmaga, Sindangbarang, Ciawi, Pondok Gede, Kampung Baru, Cisarua, dan Buitenzorg. Kawasan itu sebagian besar terbagi untuk perkebunan dan sebagian kecil permukiman.

Demi kepentingan Belanda kala itu, Daendels memerintahkan penduduk Buitenzorg menyerahkan 810.000 pikul kopi kepada pemerintah setiap kali panen. Kelancaran pengangkutan komoditas ini ke Batavia sudah dipermudah dengan dibangunnya bagian Jalan Raya Pos dari Batavia ke Bogor.

Guru besar sosiologi Institut Pertanian Bogor Sediono MP Tjondronegoro saat dihubungi mengatakan, masalah pertanahan tidak dijadikan dasar pembangunan di Jawa. Dengan kesuburan lahannya, semestinya Jawa ditumbuhkan sebagai daerah ekonomi pertanian dan perkebunan. "Industrialisasi semestinya bukan di Jawa, tetapi di pulau lain, seperti di Sumatera Selatan atau di Kalimantan Selatan karena memiliki sumber energi batu bara," tutur Tjondronegoro.

Longsor dan banjir

Perubahan dan kerusakan lingkungan di Bogor sudah "menuai hasil". Awal tahun ini, Kompas beberapa kali meliput longsor dan banjir di bantaran sungai yang melintas di Kota Bogor, seperti di daerah aliran Sungai Cisadane, Cibalok, dan Ciliwung, seperti di sekitar Pondok Rumput, Tanah Sareal.

Daerah penyangga di kawasan Tajur, Gadog, Cipayung, dan Cisarua telah berubah fungsi. Dalam buku Sastra Melayu Tionghoa terbitan Kepustakaan Populer Gramedia tulisan Lie Kim Hok, sang pelopor kitab Eja Bahasa Melayu, dicantumkan suasana Jalan Pos dari Bogor, Gadok, Cisarua, hingga Cianjur yang masih asri.

Kini, dalam jarak 7 kilometer dari Tajur hingga Ciawi, sepanjang bantaran dan di atas sebagian Sungai Cibalok sudah dipenuhi rumah toko. Bahkan, proyek gedung tiga lantai terlihat digarap di atas sebagian Sungai Cibalok! Mana mungkin Bogor bisa kembali nyaman?

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved