Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Bernostalgia di (bekas) pertokoan Gloria

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Jumat, 21 Agustus 2009 | 10:09 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/08/21/10095870/bernostalgia.di.bekas.pertokoan.gloria

Isi:

KOMPAS.com — Berita tentang terbakarnya gedung pertokoan Gloria di Pancoran Glodok, Jakarta Barat (Jakbar), bagi sebagian orang mungkin seperti berita kebakaran lainnya. Namun, tidak demikian bagi sebagian warga Jakarta. Dengan terbakarnya gedung pertokoan pertama di Jakbar ini, hangus pula kenangan mereka. Ya, bangunan empat lantai di tengah kepungan pedagang makanan khas ini merupakan satu dari ikon kawasan tersebut dan menjadi bagian sejarah kawasan tersebut.

Ketua RT 002/06 Pinangsia, Tamansari, Latif Yulus yang lahir dan terus hidup di kawasan itu bisa berkisah panjang tentang keberadaan pertokoan Gloria yang dibangun 1972. "Begitu ada pertokoan ini, (kawasan) di sini makin ramai. Orang belanja di sini, nonton di sini, cari makan di sini, cari obat juga di sini," kisahnya.

Pertokoan Gloria semula berupa los toko baju, toko obat, yang kemudian juga dilengkapi dengan supermarket dan Gloria Theatre, bioskop yang menyemarakkan Pancoran Glodok dengan film-film Mandarin dan Barat. Zaman keemasan kawasan tersebut, beserta pertokoan Gloria, dimulai sekitar tahun 1970-an hingga 1990-an, setidaknya hingga sebelum kerusuhan Mei 1998.

"Di Jakbar, bioskop Gloria yang pertama pake AC," imbuh Latif yang juga pemilik kedai es kopi beken, Tak Kie di gang Gloria, sebuah gang di antara gedung Gloria dan gedung Hotel Fortuna, tempat bersemi makanan dan minuman khas kawasan tersebut.

Dengan berlalunya waktu, pertokoan ini pun terlihat seperti ketinggalan zaman. Pasalnya, mal, plasa, hingga berbagai pertokoan yang meminjam istilah alun-alun (square) tumbuh sangat-sangat pesat di Jakarta. Entah untuk kepentingan siapa. Bioskop Gloria pun kemudian gulung tikar di awal 1990-an. Meski ada perubahan pada isi Gloria, supermarket hingga toko obat, bahkan peralatan rumah tangga tetap bertahan.

Di saat gedung milik Anton Leonardo Cipto ini dalam proses pengecatan, dimulai sekitar dua bulan lalu, api melahap habis gedung beserta isinya. Sebuah kesengajaankah ini? Karena sudah lama bertiup kabar bahwa gedung ini akan disulap menjadi mal modern. Belum ada yang berani menjawab.

Satu hal, jangan heran jika di hari-hari ini Anda menilik ke kawasan tersebut, masih banyak kakek-nenek atau mereka yang pernah tinggal di sana menengok kembali masa lalu mereka. Bahkan berfoto di pinggir gedung yang sudah porak poranda. Mereka berusaha mengumpulkan kenangan yang tercecer di sisa gedung atau di gang Gloria di kawasan yang masuk dalam kawasan Revitalisasi Kota Tua seluas 846 hektar itu.

Bagi generasi sekarang, baik turis lokal, turis nusantara, maupun turis mancanegara yang sudah mulai mengeroyok kawasan ini, tentu peristiwa tersebut adalah sebuah kehilangan. Khususnya kehilangan pada makanan yang rajin memenuhi rasa penasaran.

Di awal abad ke-20, restoran elite bertumbuhan di sini, resto Tionghoa yang kebanyakan sudah tak lagi ada tapi namanya tetap lekat di hati warga. Sebut saja Kam Leng, Beng Hiong, Kwetiau Sapi Siaw A Tjiap, Tay Too Lin, dan Chung Hua. Itu jauh sebelum pertokoan Gloria dibangun. Restoran Chung Hua pindah ke Sunter, sedangkan Kwetiau Sapi Siaw A Tjiap masih bertahan di tempat pertama. Letaknya tak jauh dari bekas pertokoan Gloria.

Selain sederet restoran elite yang kebanyakan tinggal nama, di sekeliling gedung Gloria bertebaran makanan lain yang dimulai tahun 1940-an, 1950-an, dan 1960-an. Lantas bagaimana nasib kawasan ini pasca-kebakaran? Kita tunggu saja.

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved