Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Mal modern menggantikan Gloria?

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Sabtu, 29 Agustus 2009 | 16:32 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/08/29/16321176/mal.modern.menggantikan.gloria

Isi:

BEBERAPA hari lalu Wali Kota Jakarta Barat, Djoko Ramadhan, menyatakan, pembangunan kembali eks Pasar atau gedung pertokoan Gloria, "Diserahkan sepenuhnya kepada pemilik gedung Pasar Gloria asal tidak melanggar peruntukaannya. Itu kan kawasan komersil." Entah adakah yang terganggu dengan pernyataan itu - tentu mereka yang di luar pedagang.

Jelas pernyataan itu menggelisahkan juga menggelikan, sebetulnya. Jika mengingat keberadaan Wali Kota Jakbar - sebagai penguasa wilayah - yang kini didaulat sebagai leader dari Program Revitalisasi Kota Tua, pernyataan tadi menunjukkan Wali Kota belum memahami makna revitalisasi kawasan tersebut. Betul bahwa kawasan itu kawasan komersial, gedung yang terbakar adalah untuk komersil tapi tak lantas si pemilik bisa seenaknya membangun kembali sesuai isi kepala si pemilik gedung.

Rencana mengubah gedung Gloria menjadi mal besar dan modern sudah bertiup lama di sini. Pedagang yang memiliki toko dengan status hak milik berontak ketika pemilik gedung akan membeli toko mereka dengan harga sangat murah, "Bahkan untuk beli satu toko lagi aja enggak cukup," begitu kata salah satu pedagang. Pedagang pun menggunakan cara hukum dan pemilik bangunan kalah. Ia tak bisa membeli toko milik pedagang dengan harga murah. Artinya, ia tak bisa mewujudkan impian menyulap Gloria - yang biasa disebut pasar - menjadi mal.

Lantas terjadilah kebakaran itu. Kebakaran yang sepertinya tak membuat si pemilik gedung ingin menengok gedung miliknya. Sungguh aneh.

Yang datang menilik tempat itu malah Wali Kota Jakbar. Meski sayangnya, ia hanya sekadar melihat hasil kebakaran di gedung. Barangkali ia lupa, mengumpulkan warga, pedagang - khususnya korban kebakaran - untuk mendengar apa yang mereka inginkan sekaligus keluhan mereka.

Di Pecinan yang masuk dalam kawasan yang dilestarikan, hendaknya pemilik bangunan tak dibiarkan berkendak semaunya. Ada koridor yang layak diikuti. Merevitalisasi kawasan bukan berarti lantas tak boleh ada pembangunan baru, tapi layakkah sebuah mal besar dan modern di kawasan tersebut? Berdiri mentereng sendirian di antara pedagang sederhana ala Pecinan yang sudah turun temurun mengisi dan mewarnai kawasan tersebut dan kemudian menghilangkan ciri Pecinan di Pancoran, Glodok.

Atau memang itu yang paling mudah dilakukan? Daripada susah-susah menghidupkan, menata, mengelola, maka lebih mudah serahkan saja pada pemilik, jadikan saja mal. Lebih menguntungkan, pula. Baik bagi si pemilik, juga Pemprov DKI tentu saja. Masih sebegitu pentingnyakah keberadaan mal, plasa, square - apapun namanya - di Jakarta yang sudah dikepung mal ini?

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved