Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Naik kereta api ke Passer Baroe

Format : Artikel

Impresum
Pradaningrum Mijarto - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Rabu, 3 Juni 2009 | 13:01 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/06/03/13010886/naik.kereta.api.ke.passer.baroe

Isi:

KOMPAS.com — Tahun 1821, sebuah pasar baru dibuka oleh Daendels. Pasar itu dibikin untuk membedakan Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang yang sudah didirikan lebih dulu pada 1733 oleh tuan tanah Justinus Vinck. Sebagai pasar yang baru di kawasan Weltevreden, pasar itu kemudian diberi nama Passer Baroe. Pasar ini dibangun dengan sistem los (disewakan per ruang).

Passer Baroe, yang terletak tak jauh dari Rijswijk dan Noordwijk (Jalan Veteran dan Jalan Juanda), merupakan pasar untuk kalangan elite di masa itu. Di pasar inilah untuk pertama kalinya sebuah toko menjual berbagai barang dengan mencantumkan harga pas. Toko itu milik Tio Tek Hong, pria asal Pasar Baru, dan ia pula yang merintis kebiasaan menutup toko setiap hari Minggu dan hari raya, demikian dipaparkan Ketua Komunitas Jelajah Budaya Kartum Setiawan.

Kawasan Pasar Baru sejak abad ke-19 itu juga dihuni oleh warga Tionghoa yang kemudian membuka usaha di pasar ini. Hanya sedikit yang bertahan hingga kini. Sebut saja Toko Lie Ie Seng, toko peralatan kantor dan tulis menulis; Toko Sin Lie Seng, toko sepatu tenar di masanya; Toko Jamu Nyonya Meneer; dan Toko Kompak yang adalah bekas kediaman Major Tionghoa Tio Tek Ho. Selain toko dan bangunan tua, di Pasar Baru ini terdapat satu vihara yang mungkin kurang beken dibandingkan beberapa vihara lain di kawasan Kota, Vihara Sin Tek Bio.

"Kawasan Pasar Baru ini kan juga merupakan kawasan pemerintahan maka di sana juga dibangun gedung kesenian, kantor pos," ujar Kartum lagi. Kawasan ini juga menjadi area pembauran antara pedagang India, Tionghoa, Arab, dan Betawi.

Saat ini, masih banyak terlihat bangunan tua yang dapat dilihat, di antaranya gedung Kantor Pos Filateli, gedung Antara yang merupakan saksi bisu tempat menyampaikan teks proklamasi pasca-17 Agustus 1945 oleh Adam Malik.

Keberadaan Pasar Baru ini dimulai sejak abad ke-19, ketika Gubernur Jenderal Daendels mengembangkan Weltevreden, yaitu sebuah tempat di selatan Batavia lama yang dirancang sebagai pusat pemerintahan yang baru. Pada awalnya, Pasar Baru hanya berupa pasar yang sangat sederhana, tempat pedagang pribumi menjual hasil kebunnya dengan pikulan serta pedagang kelontong Tionghoa.

Dalam sebuah catatan De Haan dalam Oud Batavia, tertulis bahwa lapangan untuk denah Pasar Baru telah dibeli oleh Daendels pada tahun 1809 dan telah direncanakan untuk dibuat pasar. Pasarnya sendiri mulai dibangun tahun 1821, padahal jelas terlihat bahwa di pintu gerbang Pasar Baru saat ini tertulis "Passer Baroe 1820". "Maka kita akan melakukan penjelajahan ke kawasan Pasar Baru berdasarkan perbedaan tahun itu. Kenapa berbeda," tanya Kartum.

Pada 1 Januari 1825, pasar ini disewakan kepada masyarakat. Hal ini juga termasuk pengenalan sistem sewa pasar dengan sistem los. Dalam pasar ini juga berlaku sewa pasar kuda dan sewa potong. Los-los terdiri dari kumpulan toko yang membujur searah dan bersampingan dari seberang jembatan Schouwburg (Gedung Kesenian Jakarta). Pada tahun 1828, pemerintah menjual beberapa bidang tanah yang terletak di sebelah timur dan barat pasar ini.

Untuk kegiatan penjelajahan yang digelar pada 7 Juni ini, peserta akan dibawa ke Pasar Baru dengan kereta api dari Stasiun Beos. Kemudian turun di Stasiun Juanda. Dari sana, perjalanan mengenang kawasan Passer Baroe dimulai. Kisah tentang perjalanan sejarah perkeretaapian di Batavia tentu merupakan satu kisah panjang yang lain lagi.

Menjejakkan kaki di Pasar Baru pada milenium kedua ini, sepanjang mata memandang, hanya terlihat kerumunan PKL yang seperti siap menyongsong warga. Toko-toko asli menjadi tertutup PKL yang berjejer di sepanjang pinggir jalan. Berantakan, itu kesan pertama yang langsung terlihat. Bangunan baru yang tak berkonsep juga mengganggu mata dan menutupi beberapa bangunan tua, bangunan Tionghoa, yang masih bertahan. Setidaknya, masih ada atap melengkung yang bisa diintip di sela-sela tembok dan atap bangunan baru.

WARTA KOTA

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved