Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Menebar virus di Kota Tua

Format : Artikel

Impresum
Pradaningrum Mijarto - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Selasa, 5 Mei 2009 | 15:25 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/05/05/15255614/menebar.virus.di.kota.tua

Isi:

KOMPAS.com — Menjejak lagi di Kalibesar Barat di mana terpancang ophaalbrug (jembatan kayu yang bisa diangkat) terasa kontras dengan suasana di seputaran kawasan Taman Fatahillah hingga ke Kalibesar Timur di balik Museum Wayang. Di depan jembatan yang punya banyak nama ini pengunjung sepertinya enggan mampir. Jika beberapa waktu lalu warung-warung semi permanen masih berjajar persis di bibir kali sehingga menutupi sebagian pemandangan ke arah jalan Kalibesar Timur maka tidak demikian belakangan waktu ini.

Pagar dan trotoar sudah menghiasi sepanjang bibir Groot Rivier ini. Sorot lampu, meski dengan penempatan asal, sudah membagi terangnya untuk mengalahkan kegelapan yang semula berkuasa di kawasan ini. Perempuan malam yang dulu pernah mengisi warung-warung pinggir kali sudah lama berpindah tempat, bersamaan dengan mundurnya Omni dari Batavia Hotel. Kini yang ada hanya The Batavia Hotel, tanpa embel-embel Omni, yang berdiri sendiri di kesepian malam Kanal Besar yang pernah menjadi urat nadi Batavia.

Meski sudah cukup lama kawasan ini tak lagi semenyeramkan ketika bisnis "nyai-nyai" berderet di sana, namun pencitraan itu masih melekat selekat-lekatnya pada benak banyak orang. Pencitraan inilah yang harus segera diubah. Sebuah pekerjaan rumah yang juga cukup besar bagi banyak pihak.

Citra buruk sebuah kawasan inilah yang sering kali menjadi sandungan bagi dunia pariwisata. Dalam hal ini, upaya menghidupkan kota tua Jakarta yang tak hanya kawasan Taman Fatahillah. Jembatan Kota Intan, begitu nama si ophaalbrug tadi, yang sudah bersusah payah mempercantik diri, berdandan habis agar keriput di sekujur tubuhnya tak tampak, tak juga menarik minat pelancong malam hari, apalagi minat orang untuk menggelar acara di sini.

Jembatan beserta kanal yang sudah berusia lebih dari 300 tahun ini tak juga menjadi daya tarik hanya karena citra buruk kawasan ini. Citra bahwa kawasan ini tidak aman, citra bahwa kawasan ini kawasan esek-esek. Selama citra itu menempel dan tak ada upaya membenahi citra maka selamanya kawasan ini akan mati.

Revitalisasi kawasan yang bukan hanya dalam hal fisik tentu akan makin memantapkan dunia bisnis, seperti hotel dan restoran atau warung makan tradisional; dan tentu saja kebanggaan bagi warga, khususnya warga lokal. Maka upaya menghidupkan kembali kawasan yang pernah mendapat julukan Ratu dari Timur ini perlu disegerakan. Kawasan ini perlu citra baru sebagai bagian dari identitas kota ini.

Wali Kota Jakarta Barat beberapa waktu lalu menyebutkan akan segera membuat "keramaian" di kawasan ini. Isinya berbagai kegiatan, termasuk kegiatan bisnis, misalnya menjual kuliner khas, suvenir khas kota tua, kesenian khas di masa lampau. Sebuah lampu hijau dari penguasa kawasan yang perlu segera direncanakan dengan matang karena sebetulnya, rencana ini bukanlah rencana baru. Sebuah rencana yang selalu berhenti jadi sekadar wacana.

Jika rencana wisata kota tua di malam hari itu bukan sekadar wacana, selain memperbaiki citra kawasan ini, kegiatan tersebut tentu juga akan mengurangi beban di kawasan Taman Fatahillah. Artinya, lokasi keramaian warga khususnya di akhir pekan akan terbagi sehingga kawasan yang dimanfaatkan akan semakin luas.

Terlebih lagi, berbagai kegiatan itu akan mampu menampung kebutuhan orang untuk bertemu dengan kota tua yang tak melulu berisi bangunan tua, tetapi juga dalam bentuk ikutannya, seperti kuliner, suvenir, dan kesenian yang sudah hampir punah. Intinya, menciptakan atraksi wisata baru di kawasan Kota Tua, menularkan virus wisata di Kota Tua ke sudut-sudut kawasan itu seperti juga Warta Kota yang sudah menebar virus "Bike to Heritage", dalam upaya pelestarian lingkungan cagar budaya.

WARTA KOTA

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved