Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Budaya Melayu di tengah globalisasi harus bertahan

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Berita Daerah: Kamis, 22 Januari 2009
http://beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa&id=7236&sub=Artikel&page=9

Isi:

(Berita Daerah - Jawa) - Kebudayaan Melayu yang berada di tengah derasnya gelombang globalisasi harus mampu bertahan dan bangkit sehingga bisa tetap lestari.

"Saat ini bangsa Indonesia sudah tidak peduli pada sejarah, padahal gelombang budaya barat semakin deras mengalir dan sudah mulai menjadi budaya di kalangan muda," kata Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, di Provinsi Sumatera Selatan, SultanIskandar Mahmud Badarudin, di Yogyakarta, Selasa.

Dalam acara silaturahmi Raja-Raja Melayu di Yogyakarta, dia menambahkan, raja adalah pemangku adat dan berfungsi sebagai penyaring dari budaya luar yang dianggap tidak sesuai dan sejalan dengan budaya bangsa Indonesia.

"Kini, sudah lebih dari 70 persen pelestari budaya termasuk di dalamnya adalah raja dan sultan sudah hilang, sehingga hanya tersisa 30persen. Karenanya, sudah saatnya mencanangkan kembali kebangkitan budaya Melayu,"katanya.

Kebangkitan budaya tersebut, kata Sultan Iskandar, bukan sebagai sarana untuk menguatkan kembali feodalisme, tetapi untuk membangkitkan budaya dan tradisi bangsa.

"Jangan hanya saat budaya Indonesia diaku milik orang lain, baru kita teriak-teriak," katanya.

Menurut dia, kebangkitan budaya bangsa tersebut dapat dilakukan melalui forum keraton yang ada di Indonesia yaitu Forum Informasi Keraton Nusantara, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara dan Asosiasi Kerajaan Kesultanan Indonesia.

Sementara itu, Sultan Raja Keraton Ismahayana, Kerajaan Landak di Provinsi Kalimantan Barat, Pangeran Ratu Gusti Suryansyah meminta kepada pemerintah agar lebih memperhatikan keberadaan situs-situs kerajaan melayu karena masih banyak yang terbengkelai.

Situs seperti keraton dan peninggalan budaya lain adalah peninggalan sejarah, sehingga perlu dijaga kelestariannya, namun keluarga keraton tidak memiliki cukup dana untuk melakukan perawatan, pemugaran atau rehabilitasi.

"Pemerintah hanya menganggap keraton dan istana sebagai museum dan tanggungjawab pemeliharaan serta perawatannya diserahkan pada keluarga kerajaan. Padahal sekarang keraton melayu sudah tidak mempunyai kekuasaan," katanya.

Menurut dia, dari sepuluh keraton yang ada di Kalimantan Barat, hanya tujuh yang masih berdiri dengan perawatan seadanya, sedang tiga keraton lain yaitu Keraton Sekadau, Keraton Kubu Al Idrus dan Simpang, kini hanya tinggal tiang bangunan.

Raja-raja tersebut kemudian sepakat untuk mendesak pemerintah daerah masing-masing untuk segera mengimplementasikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2007 yang mewajibkan pemerintah daerah ikut bertanggung jawab memelihara situs keraton dan kerajaan,katanya.

(ANT)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved