Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Menanti geliat Stasiun Tanjungpriok

Format : Artikel

Impresum
Pradaningrum Mijarto - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Selasa, 24 Maret 2009 | 11:39 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/03/24/1139051/menanti.geliat.stasiun.tanjungpriok

Isi:

Kompas.com - Stasiun Tanjungpriok segera beroperasi kembali. Stasiun kereta ini segera berfungsi melayani rute dalam kota menggunakan kereta api listrik (KRL). Rute Tanjungpriok-Jakarta Kota dan Tanjungpriok-Bekasi bakal segera terwujud pertengahan tahun nanti. Jaringan rel di stasiun ini sudah empat jalur (double-double track). Masa kejayaan stasiun ini akan segera dimulai. Masa-masa kumuh segera digantikan dengan pemandangan stasiun yang megah, yang dari segi arsitektur sangat menarik minat pelancong.

Bahkan, nantinya, menurut Kepala Humas PT KA Daop I Akhmad Sujadi, stasiun ini juga melayani rute antarkota.

Selama sekitar 10 tahun, akibat perubahan status menjadi PT KA (Persero) pada Juni 1999, perubahan besar terjadi pada stasiun ini. Masalah pendanaan memaksa PT KA menghentikan operasi stasiun ini. Tak ada lagi penumpang ke berbagai kota di Jawa yang bisa berangkat dari stasiun itu. Yang tersisa hanya kereta pengangkut barang.

Penghentian operai itu dilakukan setelah kondisi bangunan tak lagi terawat. Bukannya lantas dihidupkan, jalur dan stasiun ini malah dibiarkan mati. Alhasil, tempat seluas ini, sepanjang rel kereta yang terhubung ke jalur mati ini jadi sasaran empuk tuna wisma yang terus mengalir ke Jakarta. Penghuni di sepanjang rel kereta seperti mendirikan sebuah kota sendiri, lengkap dengan tempat hiburan. Apalagi kalau bukan tempat pelacuran, Pela Pela. Maka tak heran jika stasiun ini jadi tempat yang rawan.

Gubuk-gubuk liar menghiasi jalur rel, bahkan emplasemen stasiun pun jadi sasaran untuk mendirikan gubuk. Dari pengalaman Warta Kota hingga tahun lalu, seperti pada gubuk liar di mana pun di pinggir rel kereta, stasiun ini sungguh kotor. Kotoran manusia menjadi pemandangan di sepanjang jalur rel. Belum lagi suara bising dari pengeras suara yang melantunkan lagu yang mengajak siapapun untuk datang ke pusat suara. Sebuah tempat hiburam kelas bawah, lengkap dengan minuman keras dan perempuan-perempuan yang menjajakan diri.

Kini, meski stasiun masih penuh dengan tuna wisma, dan terlihat masih cukup kumuh namun perbedaan besar terlihat dari bangunan yang sudah menampakkan bangunan asli. Cat sudah menyentuh dinding bangunan ini. Pokoknya, gedung ini siap “bertempur” kembali. Pasti tak mudah berurusan dengan tuna wisma, pun tak murah. Paling tidak, ada yang bisa dinantikan warga Jakarta, menikmati bangunan bersejarah ini sambil mencoba naik/turun di stasiun termegah di abad 20 ini.

Monumental
Stasiun Tanjungpriok dibangun dalam rangka mendampingi Pelabuhan Tanjungpriok yang dibangun pada1877-1883, untuk menggantikan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pelabuhan Sunda Kelapa tak lagi mampu menampung kapal uap dari seluruh dunia, sejak Terusan Suez dibuka pada 1868. Stasiun ini menghubungkan Pelabuhan Tanjungpriok dengan Kota Batavia yang berada di selatan dan berbagai kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur yang memiliki jaringan kereta api. Alasan pembangunan ini karena pada masa lalu wilayah Tanjung Priuk sebagian besar terdiri hutan belantara dan rawa-rawa yang berbahaya, sehingga dibutuhkan sarana transportasi yang aman pada saat itu, yaitu kereta api.

Pembangunan Stasiun Tanjungpriok lama dimulai pada tahun 1885. Lokasi pembangunannya di sebelah utara dari bangunan Stasiun Tanjungpriok yang sekarang, agar dekat dengan pelabuhan pada waktu itu. Latar belakang pembangunan stasiun baru adalah sebagai konsekuensi aktivitas di pelabuhan yang makin meningkat.

Pada 1914, Gubernur Jendral AFW Idenburg yang memerintah Batavia pada 1909-1916, memulai pembangunan stasiun baru. Gedung bergaya Art Deco dan Kubisme ini dibangun sekitar satu kilometer sebelah selatan dari stasiun lama. Arsitek CW Koch, insinyur utama dari Staats-Spoorwegen (SS), Perusahaan Keretaapi Negara Hindia Belanda yang berdiri sejak 6 April 1875, membutuhkan 1.700 tenaga kerja, termasuk 130 tenaga kerja bangsa Eropa.

Dalam buku tentang Stasiun Tanjungpriok yang sedang disiapkan Kepala Humas Daop I Akhmad Sujadi, disebutkan, stasiun ini merupakan stasiun monumental dengan delapan jalur ganda, enam jalur di dalam peron dan dua jalur di luar peron. Bangunannya bertumpu pada ratusan tiang pancang yang memiliki atap penutup dari beton dan seng tebal. Kaca patri dan ornamen profil keramik menghias dinding stasiun.

Peresmian penggunaan Stasiun Tanjungpriok dilakukan tepat pada ulang tahun ke-50 Staats-Spoorwegen (SS) tanggal 6 April 1925. Saat itu bersamaan dengan pembukaan jalur elektrifikasi Tanjungpriok - Meester Cornelis yang dilayani kereta yang ditarik lokomotif listrik seri SS-3200 (buatan Werkspoor, Belanda-yang terkenal dengan Lokomotif Si Bon Bon) serta jaringan listrik aliran atas (LAA) yang terbentang mulai dari Tanjungpriok-Bogor, dan jalur lingkar sekitar Jakarta.

Stasiun ini juga dijadikan sebagai tempat transit warga barat yang datang ke Batavia dan sekitarnya. Untuk akomodasi, stasiun bertingkat dua itu punya di tempat yang berfungsi layaknya hotel.
Seiring kemerdekaan 17 Agustus 1945, perusahaan yang semula dikuasai Belanda diambilalih oleh bangsa Indonesia, termasuk perusahaan kereta api. Status perusahaan pun terus berganti mulai dari DKA (Djawatan Kereta Api), DKARI (Djawatan Kereta Api Republik Indonesia), PNKA (Perusahaan Negera Kereta Api), PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api) Perumka (Perusahaan Umum Kereta Api) dan akhirnya menjadi PT Kereta Api (Persero) sejak 1 Juni 1999.

WARTA KOTA

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved