Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2009
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 30 Juni 2009 | 15:44 WIB
http://properti.kompas.com/read/xml/2009/06/30/15444949/masih.ada.wilayah.abu-abu.dalam.rusunami
Isi:
JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) harus segera membenahi program rusunami (rumah susun hak milik) mengingat masih ada wilayah abu-abu yang membuat tidak tepat sasaran.
"Harus ada batasan-batasan yang jelas agar masyarakat yang disasar dengan penghasilan Rp 4,5 juta ke bawah benar-benar mendapat unit rusunami," kata pengamat properti, Panangian Simanungkalit, di Jakarta.
Panangian mengatakan, pengembang rusunami tidak dapat disalahkan apabila sebagian besar pembeli bukan kelompok disasar bahkan sejumlah kasus ditemukan pembeli investor (untuk dijual kembali).
Panangian melihat peraturan rusunami yang ada sangat lemah dan banyak wilayah abu-abu sehingga pengembang dapat memanfaatkan celah ini yang berakibat pembeli dengan penghasilan di bawah Rp 4,5 juta semakin terdesak.
"Salah satu kebijakan yang tidak tegas mengenai KPR inden, pengembang rusunami lebih suka menggunakan fasilitas ini ketimbang menggunakan kredit konstruksi karena tidak menanggung beban bunga," katanya.
Hal ini juga diakui Direktur Utama Bank BTN Iqbal Latanro seusai penandatanganan peningkatan sinergi dengan PT Pos Indonesia pada Kamis (25/6), banyaknya pengembang yang menggunakan fasilitas KPR inden.
"KPR inden ini mewajibkan pembeli mencicil unit rumah yang akan dibeli sebelum barang (rumah) jadi, padahal kalau masyarakat memakai fasilitas ini tidak akan mendapat subsidi," ujarnya.
Iqbal mengatakan, KPR subsidi sesuai dengan peraturan pemerintah akan diberikan setelah fisik bangunan menyelesaikan pekerjaan bagian atap atau dikenal sebagai topping off.
Sehingga masyarakat dengan penghasilan Rp 4,5 juta harus menunggu bangunan selesai dulu untuk mendapatkan fasilitas KPR subsidi dan potongan PPN, akibatnya mereka terdesak dengan masyarakat yang menggunakan KPR Inden.
Panangian mengatakan masih terdapat kekosongan kebijakan, artinya aturan dan mekanisme yang diluncurkan untuk mengawal program rusunami tidak lengkap, masih ada sejumlah alternatif yang dimanfaatkan pengembang.
Pada akhirnya subsidi yang diberikan Menpera tidak dimanfaatkan dengan baik karena masyarakat dengan penghasilan layak subsidi sudah enggan membeli unit rusunami terdesak dengan pembeli dengan penghasilan di atas itu.
"Kondisi demikian karena pemerintah gagal memisahkan masyarakat yang layak mendapat subsidi yang seharusnya menjadi prioritas dalam membeli rusunami dengan masyarakat di luar itu," katanya.
Menurut Panangian, perbankan dalam hal ini hanya mengikuti aturan yang ada apabila ada masyarakat mengajukan subsidi akan diproses tetapi untuk kelompok penghasilan di luar itu juga akan diproses.
Perbankan menjalankan kegiatannya bukan berlandaskan program, tetapi semata-mata bisnis sehingga memang harus ada rambu-rambu tambahan untuk menggiring masyarakat sasaran mendapat akses subsidi.
Panangian menilai, program yang sudah berlangsung selama dua tahun harus segera disempurnakan setidaknya dalam sisa waktu sebelum pemerintahan berakhir atau dilanjutkan pemerintahan berikutnya.
"Pemerintah harus melakukan kaji ulang dengan belajar dari kesalahan ini, dalam pembuatan peraturan, perlu melibatkan pelaku pemda, pengembang, dan kementerian, input pengamat," ujarnya.
Panangian menyarankan untuk membuat program dalam satu atap (one roof policy) agar dapat mengikat seluruh stakeholder rusunami termasuk dalam melaksanakan koordinasi untuk memastikan berapa persen sasaran masuk program ini.
Penghasilan di bawah Rp 4,5 juta akan mudah mendapat hak yang diinginkan sehingga harus ada kuota dalam satuan rusunami 70 persen memang untuk penghasilan di bawah Rp 4,5 juta. "Bila perlu keadaan mendesak buat perpu, mengingat dengan aturan yang ada saat ini belum tentu tepat sasaran atau belum mampu menjamin kelompok sasaran akan mendapat rusunami dengan mudah," ungkap Panangian.
Ant
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved