Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Lokomotif uap untuk wisata Kota Solo

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
beritadaerah.com: Selasa, 28 April 2009

Isi:

(Berita Daerah - Jawa) - Ambarawa, Jawa Tengah, merupakan kota tua yang pada jaman kolonial Belanda merupakan daerah militer.

Raja Belanda ketika itu, Willem I, ingin mendirikan stasiun kereta api di kota itu guna memudahkan mengangkut pasukannya menuju Semarang.

Maka, pada, 21 Mei 1873 dibangunlah Stasiun Kereta Api Ambarawa di atas tanah seluas 127.500 meter persegi. Stasiun itu kemudian dikenal dengan sebutan Stasiun Willem I.

Pada 1970an, kegiatan di stasiun itu mulai ditutup. Mula-mula yang dihentikan pengoperasiannya yaitu untuk jurusan Ambarawa - Kedungjati - Semarang.

Pada 1976, layanan untuk lintas Ambarawa - Secang - Magelang, serta Ambarawa - Parakan - Temanggung juga ditutup.

Setelah penutupan kegiatan itu, Stasiun Kerata Api Ambarawa dijadikan Museu Kereta Api. Peresmian museum itu dilaksanakan pada 8 April 1976 oleh Gubernur Jawa Tengah Supardjo Rustam bersama Kepala PJKA Eksploitasi Soeharso.

Waktu itu dukumpulkan 21 lokomotif kuno yang menggunakan bahan bakar kayu yang pernah digunakan dalam pertempuran, khususnya kereta yang mengangkut Tentara Indonesia dalam perang menghadapi tentara Belanda.

Museum Kereta Api Ambarawa merupakan satu-satunya museum berteknologi kuno yang digunakan sebagai alat transportasi sejak sebelum kemerdekaan Indonesia sampai dengan tahun 1964.

Lokomotif yang ada di museum itu merupakan penarik gerbong yang digerakkan dengan bahan bakar kayu dan batu bara. Tiga lokomotif di antaranya masih dapat beroperasi dengan baik.

Di museum itu juga terdapat pula tiga mesin hitung, tiga mesin ketik, beberapa pesawat telepon dan peralatan kuno lainnya yang dulu digunakan di stasiun tersebut.

Wisatawan yang datang ke museum itu akan disuguhi pemandangan alam yang indah, bangunan dengan arsitek kuno, dan lokomotif dengan menggunakan bahan bakar kayu dan batu bara. Pengunjung juga masih bisa menikmati perjalanan dengan kereta api kuno tersebut.

Bergerigi.

Stasiun Ambarawa memiliki lokomotif tua yang masih sanggup digunakan untuk mendaki pegunungan dengan kereta bergigi.

Kereta bergerigi itu masih mampu berjalan pada kemiringan 30 derajat menuju stasiun Bedono yang berjarak sembilan kilo meter dalam waktu satu jam dengan penumpang 80 orang.

Untuk menikmati perjalanan wisata menggunakan kereta api uap bergerigi buatan Jerman tahun 1902 dan dua gerbong buatan Belanda tahun 1911, wisatawan bisa menyewanya dengan harga Rp3 juta, kata Pujiyono, mekanik lokomotif tersebut.

Perjalanan dari Stasiun Ambarawa menuju Stasiun Bedono itu sempat berhenti di Stasiun Jambu, beberapa saat. Di sana, lokomitif di balik arahnya.

Untuk perjalanan dari Ambarawa, lokomotif berada di depan, dan sesampainya di Jambu, lokomotif itu harus berada di belakang.

"Ya memang ini kami balik, karena dengan lokomotif di belakang kekuatannya akan lebih besar," kata Pujiyono.

Kereta itu, mulai dari Jambu, mulai merayap di rel yang terus semakin tinggi.

Selama dalam perjalanan tersebut, selain menikmati enaknya naik kereta api kuno, wisatawan juga dapat menikmati pemandangan alam.

Sepanjang perjalanan itu, wisatawan dapat menikmati hijaunya lembah-lembah serta pemandangan di antara Gunung Ungaran, Gunung Merbabu yang menjulang tinggi serta hamparan Rawa Pening.

Lokomotif uap bergerigi itu membutuhkan waktu 2,5 jam untuk memanaskan 2000 meter kubik air dalam ketel uap. Kayu yang menjadi bahan bakarnya harus jenis kayu yang keras, seperti pohon jati.

Setelah panas, kereta pun dijalankan dengan kecepatan maksimal 45 kilometer per jam. Untuk mengoperasikan kereta tua itu, diperlukankan orang yang mengerti jenis kereta itu, bukan sembarang masinis.

Dalam perjalanan dari Ambarawa menuju Bedono, kereta itu sempat berhenti di tengah jalan akibat persedian air untuk memanasi ketel uap menipis. Para petugas kereta api pun terpaksa menyedot air dari parit kecil, dengan pompa.

"Ya maklum, namanya saja kereta kuno dan suku cadangnya saja sudah tidak ada. Sampai sekarang masih bisa jalannya saja itu beruntung," ujar seorang penumpang.

Saat kereta api berhenti itu, para penumpang justru dapat menggunakan kesempatan untuk mengambil gambar. Banyak objek yang tidak bisa ditemukan di daerah lain yang bisa diambil gambarnya.

Walikota Surakarta Joko Widodo mengatakan, pihaknya sangat terkesan setelah bisa menikmati perjalanan dengan kereta api kuno yang setiap hari masih bisa berjalan itu.

Menurut dia, kereta kuno itu merupakan aset yang tidak ternilai harganya, dan apabila dikelola secara profesional sungguh sangat menajubkan.

"Saya datang ke sini beserta rombongan tidak lain juga bertujuan untuk menghidupkan kembali kereta api kuno yang lewat di tengah kota Jalan Slamet Riyadi itu untuk menjadi salah daya tarik Solo, yang merupakan kota tua," katanya.

Saat ini, masih ada kereta api yang melalui jalur Slamet Riyadi itu, yaitu kereta dari Stasiun Wonogiri menuju Stasiun Kereta Api Purwosari Solo.

Joko Widodo mengatakan, dirinya ingin ada lokomotif uap dioperasikan di jalur Slamet Riyadi itu. Untuk itu, kata dia, nanti ada sebuah lokomotif tua beserta dua gerbongnya ke Solo.

Untuk melaksanakan program itu, Pemerintah Kota Surakarta menganggarkan dana sebesar Rp1,2 miliar dari APBD 2009. PT KAI menyatakan tidak keberatan dengan rencana tersebut.

Kereta kuno itu mulai berjalan di Kota Solo pada Juni 2009, untuk menempuh jalur dari Stasiun Purwosari sampai Stasiun Kota di Sangkrah.

Proyek itu diharapkan akan bisa menabah kebanggaan bagi masyarakat Solo, sebuah kota tua yang dibangun di zaman dinasti Mataram.

(T.Joko Widodo/FB/ant)
Sumber:
http://beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_jawa&id=9088⊂=Artikel&page=4

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved