Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

RTRW 2010-2030 : Jakarta Ibarat Penderita Obesitas

Format : Artikel

Impresum
Caesar Alexey - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jumat, 2 Oktober 2009 | 04:11 WIB
http://www.kompas.com/read/xml/2009/10/02/06242529/jakarta.ibarat.penderita.obesitas

Isi:

Sepasang muda-mudi bercanda sambil joging mengelilingi Taman Suropati di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat. Suasana sejuk di bawah naungan pohon-pohon yang lebat dan kepakan sayap burung-burung dara menambah seru percakapan mereka.

"Kami harus menempuh perjalanan 20 kilometer dari Tanjung Priok, Jakarta Utara, untuk dapat menikmati taman ini. Susah menemukan taman yang teduh seperti ini," kata Fadli, pemuda yang sedang joging itu, sambil mendekat di air mancur di tengah taman, Selasa (22/9).

Ketersediaan taman-taman publik dan ruang terbuka hijau lainnya memang menjadi salah satu masalah tata ruang Jakarta. Ibu kota negara yang memiliki luas 650 kilometer persegi itu hanya memiliki 9,9 persen ruang terbuka hijau (RTH) publik. Padahal, RTH publik sangat diperlukan untuk berbagai keperluan masyarakat kota.

Pengamat perkotaan, Yayat Supriatna, mengatakan, RTH publik setidaknya memiliki tiga fungsi dasar bagi kota, yaitu untuk paru-paru kota, penyerap air hujan dan pencegah banjir, serta sarana rekreasi dan interaksi warga kota. Dengan luas tidak sampai 65 kilometer persegi, RTH publik Jakarta dapat dikatakan gagal untuk menjalankan ketiga fungsi itu secara optimal.

Kegagalan RTH publik Jakarta menjalankan fungsi utamanya terjadi sejak awal 1990-an. Saat itu, rencana umum tata ruang kota mengamanatkan luas RTH publik adalah 25 persen dari luas wilayah Jakarta.

Namun, pembangunan fisik yang masih masif pada awal sampai pertengahan tahun 1990-an menyebabkan terjadinya proses alih fungsi lahan, dari lahan konservasi menjadi lahan terbangun. Bahkan, Rencana Tata Ruang Wilayah 2000-2010 merevisi target RTH publik menjadi 13,9 persen saja.

Meskipun target luas RTH publik sudah dikurangi, pemprov masih saja menyatakan kesulitan untuk memenuhinya. Hal itu terjadi karena alih fungsi lahan terus berlanjut pada awal tahun 2000-an sampai 2007.

Iwan Ismaun, dosen Arsitektur Lanskap Universitas Trisakti, mengatakan, pada 2015, kemacetan lalu lintas dan berbagai aktivitas domestik dan komersial di Jakarta menyebabkan timbulnya polusi karbon dioksida sebanyak 38.322,46 ton per hari.

Untuk menetralisir pencemaran itu, Jakarta membutuhkan RTH seluas 32,04 persen atau RTH publik Jakarta saat ini hanya mampu menyerap kurang dari sepertiganya.

Kondisi itu menyebabkan banyak warga Jakarta mengalami penyakit akibat gangguan pernapasan. Menurut perhitungan Bank Dunia pada 2007, kerugian warga Jakarta karena penyakit itu mencapai Rp 1,8 triliun. Semakin parah kemacetan, semakin besar kerugian masyarakat akibat pencemaran yang menyebabkan penyakit pernapasan.

Angka kerugian ini melonjak jauh mengingat catatan Bank dunia pada tahun 1994 mengatakan, kerugian ekonomi yang harus dipikul masyarakat Jakarta akibat polusi udara sebesar Rp 500 miliar.

Di sisi lain, minimnya luas RTH menyebabkan air hujan tidak mudah terserap ke tanah. Kondisi itu diperburuk dengan banyaknya RTH privat yang diperkeras dan bukan ditanami.

Pada 2007, hujan deras yang terus-menerus dan kiriman air dari daerah hulu menyebabkan Jakarta terendam banjir. Berdasarkan perhitungan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, kerugian akibat banjir 2007 mencapai Rp 7 triliun.

Jika kerugian akibat banjir dan gangguan pernapasan warga digabung, jumlahnya mencapai sekitar Rp 8,8 triliun atau lebih dari sepertiga dari APBD 2009 yang mencapai Rp 23,9 triliun.

Obesitas

Sementara itu, Firdaus Cahyadi, Knowledge Sharing Officer dari Satu Dunia, mengatakan, selama ini Tata Ruang DKI Jakarta sudah direduksi menjadi soal teknis dan ekonomi semata. Sementara soal psikologi masyarakat tidak dipertimbangkan. Makanya, RTH tidak menjadi titik penting dalam tata ruang itu.

Firdaus mengibaratkan Jakarta seperti orang yang menderita obesitas. Fungsi Jakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, selain fungsi sebagai pusat pemerintahan, membuat Jakarta menjadi magnet bagi banyak orang. Jakarta menjadi terlalu gemuk.

Namun, langkah yang diambil pemerintah saat ini bukan mengobati, tetapi mencari jalan pintas. "Orang obesitas itu obatnya diet. Bukan mencari baju yang ukurannya lebih besar agar muat," kata Firdaus.

Dia mencontohkan, kurangnya lahan di Jakarta diatasi pemerintah dengan reklamasi. Kemacetan diatasi dengan membuat jalan tol. Padahal, keberadaan jalan tol mendorong orang untuk menggunakan kendaraan pribadi lebih banyak lagi.

Firdaus berpendapat, kondisi Jakarta akan lebih baik jika dipisah antara fungsi pemerintah dan fungsi bisnis. "Contohnya sudah ada, misalnya pemindahan Kampus Universitas Indonesia ke Depok dan Bandara Kemayoran ke Cengkareng. Bayangkan kemacetan di Jakarta jika keduanya tetap di Jakarta," kata Firdaus.

Pemindahan seperti ini bisa dilakukan pada kawasan komersial. Kawasan komersial ini bisa dipindahkan ke luar Jakarta. Dengan pemindahan ini, Jakarta akan bisa memenuhi kebutuhan akan RTH.

Tantangan baru

Kondisi itu merupakan tantangan baru bagi Pemprov DKI Jakarta yang saat ini sedang menyusun RTRW 2010-2030. Keseimbangan ekologis antara kawasan terbangun dan kawasan konservasi harus menjadi fokus utama.

Pola pembangunan fisik yang selalu menggunakan lahan yang luas harus ditinggalkan. Harus lebih banyak ruang terbuka hijau yang dibuka agar masyarakat Jakarta lebih sehat dan kerugian sosial ekonomi akibat rusaknya alam dapat ditekan.

"Tidak ada gunanya membangun secara ekstensif dan mendapatkan banyak pemasukan dari pajak jika kerugian akibat kerusakan lingkungan nilainya lebih besar. RTRW 2010-2030 harus mampu menciptakan keseimbangan agar kerugian akibat kerusakan lingkungan dapat dikurangi dan pemasukan dari pajak kawasan terbangun tetap mengalir," kata Selamet Daroyni, Direktur Institut Hijau Indonesia.

Keseimbangan yang dimaksud adalah menambah luas RTH publik di Jakarta. Penambahan RTH publik sampai 20 persen juga diamanatkan dalam Undang-Undang Tata Ruang.

Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman Ery Basworo DKI Jakarta mengatakan, jika penambahan RTH publik harus dilakukan dengan pembelian lahan milik masyarakat, pemenuhan target 20 persen sesuai UU Tata Ruang mustahil direalisasikan. Selain harga lahan yang mahal, APBD DKI Jakarta juga tidak memiliki cukup dana untuk membelinya.

Firdaus mengakui persoalan tata ruang Jakarta sudah sangat parah dan sulit menentukan dari mana harus dimulai untuk perbaikan. Namun, dia mengingatkan, cara apa pun yang ditempuh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak akan berhasil tanpa dukungan dari pemerintah pusat.

Hingga saat ini pemerintah pusat masih menetapkan Jakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Selama Jakarta masih menyandang kota ekonomi, sulit bagi Jakarta untuk berbenah.

Deputi Gubernur Bidang Tata Ruang Ahmad Hariyadi mengatakan, pihaknya sedang merumuskan strategi penambahan RTH publik dalam RTRW 2010-2030. Strategi utamanya adalah konsolidasi lahan di sekitar jalur transportasi.

Aktivitas-aktivitas di lahan terbangun akan disatukan dalam bangunan-bangunan vertikal bertingkat sehingga ada sisa lahan yang dapat digunakan sebagai RTH publik.

"Semoga strategi ini dapat diwujudkan sehingga target luas RTH publik dapat tercapai pada 2020," kata Hariyadi.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved