Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Bangunan Cagar Budaya di Menteng Dibongkar Total

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
BeritaJakarta.Com: 5 Pebruari 2009

Isi:

Sebagai kota yang penuh menyimpan sejarah, DKI Jakarta memiliki banyak bangunan cagar budaya. Sayangnya, bangunan-bangunan tua itu kurang mendapat perhatian. Buktinya, sejumlah bangunan di kawasan Menteng kini banyak beralih fungsi menjadi tempat usaha seperti salon kecantikan dan klinik kesehatan. Parahnya lagi, ada sejumlah bangunan yang telah berubah dari bentuk aslinya. Ironisnya, bangunan tersebut berdekatan dengan rumah Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo. Padahal, bangunan tersebut dilindungi surat keputusan (SK) Gubernur Kepala Daerah No D/IV/6098/d/33/1975 mengenai Penataan Kawasan Menteng serta Peraturan Daerah (Perda) No 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya.

Bangunan yang menghilangkan gaya arsitektur aslinya, salah satunya terdapat di Jl Tengku Umar No 42 dan 44, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan itu kini menjadi bangunan bergaya arsitektur modern. Menurut salah seorang pekerja yang tak mau disebutkan namanya, pemugaran rumah mewah itu sudah berjalan selama tiga tahun. Bahkan menurut pengakuannya, pengerjaan pemugaran bangunan rumah itu telah berganti-ganti pemborong. Dan saat ini pengerjaannya dipegang PT Imesco.

Berdasarkan pantauan beritajakarta.com, pemugaran rumah mewah itu sudah mencapai 70 persen. Ironisnya, rumah yang awalnya dua kapling tersebut rencananya akan dijadikan satu bangunan. Sehingga perlu dilakukan pembongkaran besar-besaran untuk menyatukan dua rumah tersebut. Dari informasi yang diperoleh, rumah tersebut awalnya milik dua mantan tokoh nasional yang kemudian berpindah tangan kepada seorang pengusaha. Ironisnya lagi, dua rumah tersebut, lanjut sumber, masuk dalam katagori rumah cagar budaya, yaitu cagar budaya golongan B dan C.

Ketika dikonfirmasi, Kasi Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) Kecamatan Menteng, Pupung menegaskan, bangunan yang sedang dipugar di Jl Tengku Umar No 42 dan 44 itu termasuk dalam bangunan cagar budaya, baik golongan B atau C. Meski demikian, pemugaran tersebut telah melalui pengawasan Sudin P2B Jakpus. Seharusnya, pemugaran bangunan cagar budaya harus mendapat izin dari Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan DKI dan rekomendasi dari gubernur. Sayangnya, sejauh ini Pupung tidak mengetahui apakah pemugaran dua bangunan itu telah mendapat izin atau belum.

Sementara itu, Camat Menteng, Efri mengatakan, di kawasan Menteng ada beberapa bangunan yang masuk dalam katagori A. Antara lain rumah dinas Wakil Presiden Jusuf Kalla, rumah dinas Duta Besar AS, Masjid Sunda Kelapa, Gedung Bappenas, Gereja GPIB Paulus. Untuk Golongan B lanjut Efri, banyak terdapat di Jl Diponegoro dan Jl Tengku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Sedangkan lainnya, rata-rata rumah yang berada di Menteng banyak masuk dalam katagori C dan D. “Kalau kita hitung jumlahnya banyak sekali,” jelas Efri, Kamis (5/2) sore.

Arya Abieta, pemerhati bangunan tua dari Pusat Dokumentasi Arsitektur Indonesia, mengatakan, bangunan yang masuk dalam kategori cagar budaya dilindungi secara hukum, termasuk rumah-rumah yang berada di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Ia menuturkan, rumah cagar budaya di kawasan Menteng dibagi menjadi tiga kategori, yakni golongan A, dengan ketentuan bangunan seluruh bagian rumah tidak boleh diubah dari bentuk aslinya, apalagi dibongkar. Golongan B, bangunan boleh dibongkar tapi bagian badan utama, struktur utama tidak boleh diubah. Sedangkan golongan C, bangunan boleh diubah atau dibangun baru, namun dalam perubahan itu harus disesuaikan dengan pola bangunan sekitarnya atau mengikuti bentuk asli di lingkungan sekitarnya.

Ditambahkan Arya, pertimbangan rumah cagar budaya berdasarkan dari nilai historis, umur, keaslian, kelangkaan, dan arsitektur bangunan. “Jadi apu pun alasannya, pemugaran total terhadap bangunan cagar budaya tidak dibenarkan. Kalau ada yang melanggar ditindak sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.

273 Bangunan Dilindungi
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, Arie Budiman, menyatakan di DKI Jakarta terdapat 273 bangunan cagar budaya (BCB) yang dilindungi. Saat ini, Arie sedang menginventarisir dari aspek fisik sejumlah bangunan cagar budaya yang mengalami kerusakan ringan, sedang, dan tinggi. “Memang ada bangunan cagar budaya yang mengalami kerusakan dan butuh direnovasi,” katanya di Balaikota DKI, Kamis (5/2). Data sudah ada, tetapi Arie belum bisa mengungkapkannya secara menditail karena jumlahnya cukup banyak.

Terkait masalah pengelolaan dan pengawasannya terhadap bangunan cagar budaya, Arie menjelaskan, memerlukan penanganan yang serius dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI. Sebab, dia tidak mau mengurangi resiko degradasi bahkan kehilangan cagar budaya yang menjadi bagian dari sejarah kota Jakarta. Dan jika dilihat dari perspektif pariwisata, bangunan cagar budaya merupakan situs yang menjadi daya tarik kota ini. “Kalau kondisinya tidak memungkinkan, harus segera diperbaiki. Kemudian dipantau keberadaannya,” ujarnya.

Mengenai bangunan cagar budaya yang dialihfungsikan menjadi tempat usaha seperti restoran, galeri atau butik, menurutnya merupakan hal yang wajar. Namun Arie menegaskan bukan berarti si pemilik bebas melakukan perubahan-perubahan terhadap bangunan bersejarah tersebut. Para pemilik harus mengetahui masuk dalam kategori apa bangunan cagar budaya yang mereka miliki. Dalam Perda No 9 tahun 1999 tentang Ketentuan Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan-bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta, ada tiga klasifikasi, yaitu golongan A merupakan bangunan yang memenuhi kriteria nilai sejarah dan keaslian, golongan B yakni bangunan yang memenuhi kriteria keaslian, kelangkaan, landmark, arsitektur, dan umur. Serta golongan C adalah bangunan yang memenuhi kriteria umur dan arsitektur.

Bangunan cagar budaya golongan A dilarang dibongkar dan atau diubah. Tetapi apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar, atau tidak layak tegak dapat dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan aslinya. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/sejenis atau memiliki karakter yang sama dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi satu kesatuan utuh dengan bangunan utama. Golongan B, pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting. Sedangkan Golongan C, detail ornamen dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan di sekitarnya dalam keserasian lingkungan.

Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapat dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan. Ketiga kelas ini, dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian dan perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan aslinya. Karena itu, perubahan fungsi tetap harus dilaporkan kepada Pemprov DKI Jakarta dengan tetap memperhatikan kelestarian bangunan atau bangunan-bangunan tersebut. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta.

Terhadap perbuatan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana terhadap pelestarian dan pemanfaatan lingkungan dan bangunan cagar budaya diancam pidana. Hal ini diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Pihak yang merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya atau membawa, memindahkan, mengambil, mengubah bentuk atau warna, memugar, atau memisahkan benda cagar budaya tanpa izin dari pemerintah dipidana dengan penjara selama-lamanya 10 tahun dan denda maksimal Rp 100 juta. “Jadi sanksinya adalah denda atau hukuman penjara. Kalau penyegelan atau penutupan bukan tugas kami. Tetapi mungkin Dinas P2B,” terang Arie. Sayangnya, ketika dimintai keterangan adanya pemugaran bangunan cagar budaya di Jl Tengku Umar No 42 dan 44, mantan Kepala Biro Humas dan Protokol DKI ini mengaku belum tahu dan berjanji akan segera mengeceknya. “Saya belum tahu, nanti akan saya cek,” ujarnya singkat.

Secara terpisah, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta, Ahmad Husin Alaydrus menegaskan, setiap terjadi pemugaran terhadap cagar budaya maka hal itu merupakan bentuk pelanggaran. Karena seluruh cagar budaya di wilayah ibukota, dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yakni Perda No 9 tahun 1999 tentang Ketentuan Pelestarian dan Pemanfaatan Bangunan-bangunan Cagar Budaya di DKI Jakarta. “Cagar budaya itu harus dilestarikan, tidak boleh ada perubahan. Kalau ada perubahan pemiliknya harus diberi sanksi berat,” ujar Alaydrus.

Menurutnya, di DKI sudah banyak terjadi perubahan pada cagar budaya, seperti di kawasan Menteng. Demikian halnya di Kota Tua, perubahan yang terjadi telah menyalahi peraturan perundang-undangan.

Hal senada ditandaskan Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Muhayar. Menurutnya, setiap akan ada perubahan atau pemugaran pada cagar budaya, tentu harus mendapatkan persetujuan dan sepengetahuan dewan. “Pemugaran bangunan bersejarah atau cagar budaya, harus mendapatkan persetujuan dewan. Jika tidak, maka itu pelanggaran,” terangnya.

Dijelaskan Muhayar, tata ruang itu mengatur tentang penggunaan dan pemanfaatan ruang dengan maksimal sehingga kondisi lingkungan di sekitar terpelihara dengan baik. Artinya, suatu ruang itu diposisikan mengatur satu bangunan atau tempat dengan menyejajarkan keseimbangan tata ruang sehingga menjadi indah.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved