Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Tanjidor, nasibmu kini

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
beritajakarta.com: 11 Juli 2009 15:48
http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=34266

Isi:

Pada zamannya, musik tanjidor merupakan iringan wajib dalam setiap perhelatan masyarakat Betawi. Itu dulu, kini masa keemasan seniman tanjidor mulai suram karena tak ada generasi yang meneruskan. Sekarang ada beberapa grup musik tanjidor yang mencoba bertahan. Para seniman tanjidor itu kini terpinggirkan di kawasan Bekasi, Tangerang, dan Depok.

Ada yang menarik dalam pelaksanaan pilpres Rabu (8/7) lalu di salah satu TPS Warungbuncit, Jakarta Selatan. Para pemilih, dihibur satu grup musik tanjidor yang sudah jarang ditemui. Sebagian pemilih yang sedang menunggu mencontreng terhibur dan sebagian lagi acuh. Hanya beberapa lelaki dan wanita renta saja yang menikmati alunan musik yang dimainkan delapan orang itu.

Beberapa anak-anak sedikit terpukau dengan alat musik yang dimainkan. Ukuran alat musik yang besar, menjadi perhatian anak-anak yang penasaran dengan musik yang baru kali ini didengar. Sebagian anak-anak lagi, menikmati dengan berlenggok mengikuti alunan musik.

Lenggokan pinggul anak-anak akhirnya berhenti karena napas pemain tanjidor itu sudah tersengal-sengal. Maklum saja, musik tanjidor yang didominasi alat tiup ini mayoritas dimainkan oleh seniman yang sudah renta. Namun guratan semangat di wajah pemain tanjidor dari Grup Lestari Jaya, Warung Buncit, Jakarta Selatan ini terlihat dari upayanya menyelesaikan setiap lagu yang dimainkan.

Musik tanjidor, adalah salah satu kesenian musik tradisional adat Betawi yang berkembang beriringan dengan musik keroncong. Kedua musik ini mendapat pengaruh dari kebudayaan Eropa seperti Belanda dan Portugis. Karena perkembangannya di tengah kaum elite pada masa itu, maka kebudayaan Cina turut campur dalam perkembangan musik tanjidor. Saat itu atau sekitar abad XVIII dan XIX, penghasilan seniman tanjidor berasal dari saweran penonton dalam hajatan besar tuan tanah atau bangsawan Eropa.

Nasib seniman tanjidor dulu dan sekarang juga tak jauh berbeda. Sekarang, mereka hanya mengandalkan panggilan bermain di beberapa acara saja. Itupun sudah jarang didapat. Terompet, trombone, saksophone, klarinet, tambur, siklopone, dan sebuah gendang atau bedug lebih banyak menjadi hiasan di sanggar Grup Lestari Jaya warung Buncit. Hanya sesekali seniman tanjidor ini berkumpul memainkan alat musik yang sudah menua, setua umur mereka.

Ironis memang. Sebagai musik tradisional Betawi, seniman tanjidor kebingungan mencari penerus yang mau mencoba musik warisan nenek moyangnya ini. Hal ini yang cukup dikhawatirkan oleh para musisi group tanjidor. Para seniman dihantui perasaan, alat musik tanjidor menjadi koleksi museum. "Jika tidak yang muda, siapa lagi," kata Soleh, salah satu pemain tanjidor kepada beritajakarta.com, Sabtu(11/7).

Dulu, kata Sholeh, di masa keemasan kesenian tanjidor merupakan musik iringan upacara besar. Tak jarang para musisi memainkannya dari rumah ke rumah. Menurutnya dulu masyarakat dengan bangga memainkan musik khas Betawi ini. Begitu juga dengan generasi muda yang begitu antusias mempelajari alat musik tanjidor ini. "Waktu gue mude pengen banget belajar mainin musik tanjidor," kata peniup terompet dengan logat Betawi yang kental ini.

Mengenai penghasilan, Sholeh mengaku cukup puas dengan pendapatan main musik kala itu. Layaknya pengamen, penghasilan musisi orkes tanjidor dulu tergantung dari saweran penonton, ditambah bayaran dari yang punya hajatan. Maka tak heran jika di abad ke-18 dan ke-19, permainan tanjidor selalu dilakukan keliling mencari tempat-tempat strategis yang dirasa dapat menghasilkan uang banyak.

Namun keberadaan kesenian tanjidor saat ini begitu memprihatinkan. Kurang minatnya generasi muda dalam mendalami kesenian tanjidor menjadi alasan mengapa kesenian adat setempat ini menjadi begitu kritis. Tak jarang untuk mempertahankannya para musisi tanjidor usia lanjut harus berjuang sendiri dalam merawat dan memainkannya. "Ibarat kate, anak mude sekarang lebih milih dangdut daripade tanjidor," tutur Sholeh.

Ditambahkan Sholeh, saat ini group tanjidor hanya tersisa beberapa group. Itupun terdapat di pinggiran kota Jakarta, seperti Bekasi, Tangerang, Banten, dan Depok. "Dulu sih banyak, tapi karena nggak ada penerusnya mereka lama-lama bubar dan tinggal beberapa group aja," kata pria yang mulai menekuni tanjidor mulai umur 16 tahun.

Para seniman tanjidor kini berharap, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI turun tangan melestarikan salah satu budaya Betawi ini. Mereka tidak menginginkan, tanjidor berakhir dalam dokumen penting perjalanan kota Jakarta yang berusia lebih dari empat abad. `Tangan dingin` eksekutif di jajaran Pemprov DKI kini seperti menjadi penentu, apakah peninggalan budaya Betawi akan dilestarikan atau dibiarkan tenggelam digerus zaman.

Reporter: didit

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved