Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Biang keladi kerusuhan dan kehancuran Batavia

Format : Artikel

Impresum
Pradaningrum Mijarto - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Sabtu, 25 April 2009 | 11:01 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/04/25/11015433/biang.keladi.kerusuhan.dan.kehancuran.batavia

Isi:

KOMPAS.com — Di Batavia periode 1680 sampai 1720 sebuah lahan luas dibuka di Ommelanden (kawasan di sekitar Batavia). Di sinilah terlihat bagaimana kuli-kuli Tionghoa sangat membantu perkembangan perkebunan di Ommelanden. Hutan-hutan dibabat, lahan untuk ladang menanam padi disediakan, lahan untuk menunjang budi daya gula disiapkan. Dari sinilah pula kisah kerusakan lingkungan alam Batavia dimulai.

Warga Tionghoa, para kapitan, bersama pengusaha dan kuli merupakan inisiator utama yang menentukan perkembangan industri gula di Ommelanden itu. Pelopornya adalah Jan Con yang bisa memproduksi gula dalam jumlah besar. Meski akhirnya produksi gula Jan Con merosot akibat faktor alam atau pencurian.

Jan Con, begitu tertulis dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Jilid 10, tidak sendiri. Kapitan China Poa Beng Gan/Phoa Bingham/Phoa Beng Gam juga memiliki perkebunan tebu yang luas di Tanahabang. Penggalian Binghamgracht atau kanal Molenvliet bertujuan, salah satunya, untuk menghubungkan kebun tebu di Tanahabang dengan Batavia.

Lim Keenqua, Kapitan Que Boqua, dan Kapitan Nie Hoe Kong adalah sederet warga Tionghoa lain yang punya pabrik gula. Nie Hoe Kong bahkan mewarisi 14 penggilingan gula milik ayahnya.

Tahun 1730-an, industri gula di Batavia mengalami masa suram karena harga gula di pasar internasional merosot. Buntutnya, pabrik gula di Ommelanden banyak yang tutup, ribuan buruh Tionghoa di-PHK. Timbul masalah sosial hingga terjadi pemberontakan sosial pada 1740 yang berakhir dengan pembunuhan massal warga Tionghoa oleh Belanda.

Kisah di Batavia itu berawal di tahun 1720-an ketika untung yang dipetik dari gula di daerah Ommelanden mulai melorot. Tanah perkebunan ini akhirnya kelelahan, di mana kayu bakar untuk tungku gula semakin berkurang. Intinya, budi daya ini ternyata berakhir dengan perusakan lingkungan di Ommelanden, membinasakan hutan, mencemari air, dan tanah daerah tropis karena pengelolaan yang sembarangan.

Leonard Blusse dalam Sejarah Bencana Ekologi: Kompeni Hindia Belanda dan Batavia (1619-1799) menyebutkan, daerah penghasil kayu kehilangan sebagain luas hutan untuk melindungi pabrik-pabrik gula yang memerlukan kayu bakar. Selain itu, pabrik-pabrik gula ini dibangun di dekat sungai sehingga mencemari air bersih yang mengalir ke Batavia.

Keresahan sosial dan kehancuran usaha pabrik gula di Batavia tahun 1740 itu sudah dimulai 1701 saat peneliti melakukan penelitian ke hulu sungai-sungai di Ommelanden karena terjadi pencemaran air ke seluruh kota dua tahun setelah Gunung Salak meletus. Mereka melihat bahwa hutan dari hulu Sungai Ciliwung sampai hilir di perkebunan tebu milik Cornelis Chastelein telah ludes ditebang.

Volume air Sungai Ciliwung yang mengalir ke Batavia juga menurun akibat banyaknya aliran air yang dibelokkan untuk irigasi. Kerusakan alam inilah yang mengakibatkan kondisi Batavia menjadi tidak sehat, kotor, dan jadi sarang penyakit. Di tahun 1808, Daendels pun akhirnya memindahkan pusat kota Batavia ke Weltevreden.

WARTA KOTA

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved