Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2009
Deskripsi
Sumber:
Beritajakarta.com: 7 Juli 2009 10:40
http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=34201
Isi:
Keberadaan tentara Belanda pada zaman penjajahan ternyata tidak hanya menyisakan kisah perih pada pejuang kala itu. Banyak peninggalan tentara Belanda yang masih menjadi perdebatan hingga kini. Seperti keberadaan bunker di "perut" Jakarta yang hingga kini masih menjadi misteri. Perlu keseriusan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) DKI Jakarta untuk membuka tabir ini.
Misteri keberadaan bunker di Jakarta tersimpan rapi dalam arsip yang dimiliki Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kota Tua. Dalam surat kabar Belanda terbitan tahun 1940 terungkap, ternyata ada beberapa bunker di lokasi berbeda yang menjadi tempat persembunyian tentara Belanda saat perang dunia II. Dalam dokumen yang dimiliki UPT Kota Tua, ada lima bunker yang tersembunyi, dua diantaranya sudah terungkap yakni di depan Museum Sejarah dan di Stasiun Tanjungpriok.
Untuk di Museum Sejarah Jakarta, bunker yang ada kemungkinan dijadikan tempat persembunyian. Sedangkan yang di belakang Museum Sejarah Jakarta dipastikan sebagai penjara. Beberapa peninggalan yang menguatkan, yakni terdapatnya borgol-borgol bola besi yang terlihat kusam.
Sementara, bunker yang ada di Stasiun Tanjung Priok belum diketahui fungsinya. Ada yang berspekulasi bahwa bunker tersebut memiliki lorong yang menghubungkan ke pelabuhan. Kabarnya, bunker ini digunakan untuk menyelundupkan barang terlarang dari pelabuhan untuk dibawa ke sejumlah derah menggunakan kereta api.
Untuk tiga bunker lagi yang masih menyimpan misteri, terletak di sekitar Departemen Keuangan. Memang, pada zaman penjajahan Belanda kawasan ini masuk menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda hingga memungkinkan jika ada bunker untuk perlindungan. Spekulasi yang berkembang, bunker di sini juga panjang karena menghubungan Gedung Departemen Keuangan hingga ke bawah Lapangan Banteng. Untuk bunker yang ada di sekitar Kramat Raya, masih minim informasi sehingga belum dapat dipastikan letak persis keberadaan bunker tersebut.
Melihat pesatnya pembangunan di kawasan tersebut, penggalian bunker menjadi sesuatu yang mustahil dilakukan karena resiko dan biaya yang dikeluarkan cukup tinggi. Makanya UPT Kota Tua masih menunggu Disparbud DKI melakukan penelusuran keberadaan bunker yang tercatat dalam arsip Jakarta. "Kita sering mendapatkan dokumentasi yang merupakan arsip media lokal Belanda yang terbit tahun 1940 atau saat perang dunia II. Dari surat kabar tersebut diketahui beberapa tempat ruang bawah tanah yang dulunya sebagai tempat persembunyian tentara Belanda," kata Chandrian Attahiyat, Kepala UPT Kota Tua, kepada beritajakarta.com, Selasa (7/7).
UPT Kota Tua belum mengajukan permohonan penggalian bunker yang masih tertutup. Hal tersebut lantaran bukan wewenang dari UPT Kota Tua, tapi merupakan wewenang dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. "Kita hanya berusaha untuk mengetahui keberadaan bunker yang masuk zona kawasan Kota Tua saja," lanjut Chandrian.
Chandrian mengaku usaha penggalian bunker merupakan hal yang tidak mudah dilakukan lantaran diperlukan biaya yang tidak sedikit. Apalagi, menurut Chandrian, usaha penggalian bunker yang tertutup haruslah membongkar fasilitas umum yang telah berdiri. Chandrian mengatakan, pihaknya sebagai pelestari cagar budaya hanya dapat mendokumentasikannya melalui media agar semua masyarakat tahu bahwa di "perut" Jakarta terdapat ruang bawah tanah yang belum terdeteksi.
Sementara itu, Kepala Disparbud DKI, Arie Budhiman, mengaku belum mendapatkan laporan mengenai adanya beberapa bunker tertutup yang ada di kota Jakarta. Jika ada, lanjutnya, Disparbud akan melakukan koordinasi dengan museum atau situs sejarah guna mengumpulkan informasi mengenai keberadaan bunker tersebut.
Arie menambahkan keberadaan bunker merupakan situs sejarah yang mahal harganya. Meski demikian pihaknya tak mau melakukan pembongkaran secara sembarangan. Karena pembongkaran dan penggalian bunker terlebih dulu dilihat dari faktor pendukungnya. Apakah bunker tersebut berada di lingkungan museum atau tidak, jika tidak pembongkaran tidak akan dilakukan. "Seperti di Museum Fatahillah atau Museum Sejarah di sana keberadaan bunker sebagai bagian pendukung objek museum tersebut, makanya kita gali. Tapi kalau keberadaannya di bawah fasilitas umum, kita tak akan membongkarnya. Masak dibuat objek wisata bunker tanpa ada museumnya," kata Arie.
Reporter: didit
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved