Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Kelenteng Da Bo Gong Jakarta

Format : Artikel

Impresum
- : , 0000

Deskripsi
Sumber:
http://www.geocities.com/Athens/Aegean/3666/feature/kelenteng/jindeyuan.htm
Jumat, 7 Januari 2005

Isi:

Meskipun seusia dengan kelenteng Jin-de Yuan di Glodok, Kelenteng Da-ba-gong (Kelenteng Ancol) mempunyai latar belakang yang berbeda. Kelenteng ini dalam bahasa Tionghoa disebut Da-bo-gong miao atau Kelenteng Da-bo-gong. Dewa Da-bo-gong identik dengan dewa yang telah disebutkan dalam hubungan dengan kelenteng Jin–de yuan, yaitu Fu-de zheng-shen, ‘Dewa bumi dan kekayaan’. Biasanya Da-bo-gong digambarkan bersama istrinya (Bo-pong). Dari Da-bo-gong atau Toa-pe-kong (lafal Hokien) muncul istilah bahasa Indonesia untuk patung–patung dewa Tionghoa, yaitu ‘topekong’.

Terdapat dua kelenteng lain teruntuk dewa yang sama, yaitu kelenteng di Tanjungkait (dari sekitar tahun 1792) di utara Tangerang dan kelenteng You-mi-hang-hui di Jl. Pejagalan II (dari tahun 1823).

Ada sesuatu yang mengherankan mengenai kelenteng ini. Orang Tionghoa tidak boleh membawa daging babi kedalam pekarangan kelenteng. Mengapa? Ini bertautan dengan ciri khasnya: Kelenteng Ancol adalah tempat keramat ganda. Pada zaman dahulu, orang Tionghoa dan orang Islam keduanya beribadat ditempat yang sama. Jadi tempat ini merupakan kelenteng Tionghoa dan sekaligus tempat keramat bagi orang Islam. Tempat keramat ganda seperti kelenteng Ancol, juga ditemukan di Semarang (Gedung Batu) dan Palembang (Pulau Kemarau).

Ada sebuah cerita yang patut disimak tentang kelenteng ini.
Suatu ketika seorang jurumudi jung Tionghoa tiba ditempat ini dan jatuh cinta dengan seorang ronggeng sunda. Karena wanita ini seorang Muslimat, maka sebelum menikah mereka berjanji satu sama lain, bahwa mereka tidak akan pernah makan daging babi yang dianggap haram oleh kaum Muslim dan petai yang oleh orang Tionghoa totok dianggap menjijikan karena baunya. Itulah sebabnya para dewa akan marah jika seseorang membawa kedua jenis makanan tersebut kedalam kompleks kelenteng.

Suatu hari juru mudi tersebut hendak berlayar jauh, maka ia menyuruh seorang yang bernama Kong Toe Tjoe Seng membangun sebuah kelenteng dan menjaganya selama seratus tahun. Tetapi sebelum kelentang ini selesai, juru mudi tersebut dan istrinya Sitiwati meninggal. Mereka dikuburkan dalam kelenteng bersama-sama dengan adik istrinya Ibu Mone. Nama tiga orang ini terdapat dalam ruang utama pada altar-altar dengan beberapa patung. Tetapi terdapat sebuah makam lain tanpa patung, yaitu makam pembangun kelenteng Kong Toe Tjoe Seng. Sebelum meninggal ia berubah bentuk menjadi Toa Pekong atau Da-bo gong, inkarnasi dari Dewa Bumi, dewa utama kelenteng Ancol.

Majikan juru mudi tersebut disebut Sampo Toa Lang atau Sampo Tai Jin, yang diartikan oleh orang setempat sebagai ‘Yang Dituankan’ atau ‘Orang Tersohor’. Dia mendaratkan kapalnya dekat Semarang di Jawa Tengah antara tahun 1405 dan 1413. Jangkar kapal ini dipertunjukan di kelenteng Sam Po Kong atau Gedung Batu di Semarang. Inilah pokok tradisi kedua kelenteng ini.

Ruang utama kelenteng ini dipersembahkan kepada Da Bo Gong dan istrinya Bo Pong, keduanya dipandang sebagai wujud sepasang suami-istri yang dikuburkan disana. Disebelah kanan tampak patung Wang Zhu Cheng, seorang perwira yang katanya ditinggalkan Laksamana Zheng Ho. Laksamana ini dikenal sebagai Kasim atau Sida-sida Agung dari Zaman Wangsa Ming, yang didewakan sebagai Sampo Tai Jin di Kelenteng Gedung Batu di Semarang. Zheng Ho adalah putra seorang haji dan banyak perwiranya yang beragama Islam juga. Hal ini dapat menerangkan sifat ganda Kelenteng Ancol.

Sebatang papan kayu horisontal dari tahun 1756 memuat nama serta jabatan tokoh-tokoh Tionghoa di Batavia sesudah pembantaian massal tahun 1740. Papan ini dapat dilihat diatas altar utama dalam ruang utama. Salah satu dari papan nama yang terpasang diatas meja besar pada pintu masuk bahkan lebih tua, yakni dari tahun 1755. Masih terdapat banyak papan dari kayu dan batu dalam kelenteng ini dan kebanyakan berasal dari abad ke-19.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved