Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Masjid berlanggam Tionghoa di tepi Kali Krukut

Format : Artikel

Impresum
Pradaningrum Mijarto - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 15 September 2009 | 12:46 WIB

Isi:

MELINTAS di Jalan Sudirman tak jauh dari Universitas Atmajaya, di sisi kiri, di antara gedung tinggi milik Sampoerna, akan tampak bangunan unik menjulang. Bangunan yang kental langgam Tionghoa ini, bisa jadi disangka kelenteng. Tak banyak orang memperhatikan bangunan bersejarah ini, bahkan tak tahu bahwa bangunan itu bukanlah kelenteng tapi masjid.

Bangunan yang diperkirakan dibangun di pertengahan tahun 1800-an itu, mengalami renovasi pertama pada tahun 1921 - seperti tertulis pada prasasti yang ada di belakang mimbar. Pada awal 1990-an masjid ini nyaris tergusur dan seperti tenggelam di balik gedung megah milik Danamon.

Adolf Heuken dalam buku Mesjid-mesjid Tua di Jakarta" menuliskan, Masjid Hidayatullah, demikian nama masjid tersebut, berada di tepi Kali Krukut di daerah Karet dan kala itu berbatasan dengan kompleks Danamon - kini Sampoerna. Diperkirakan, masjid itu berawal dari mushala. Seorang Tionghoa pengusaha batik bernama Mohamad Yusuf diyakini sebagai orang yang membangun mushala tersebut. Di masa itu, daerah Karet memang banyak dihuni oleh warga Tionghoa yang menganut agama Budha, Kristen, dan Islam.

Bagian tertua dari masjid ini, yaitu bangunan dengan delapan pilar kayu jati, dan inilah yang direnovasi pada 1921. Menurut Heuken, bangunan itu dibangun sesuai dengan rancangan arsitek Louis Khan dengan gaya kubisme.

Ruang utama masjid ini dibangun di atas pondasi setinggi 25 cm dan diapit oleh dua menara di bagian muka. Menara itu mungkin dipengaruhi oleh gaya Persia, mungkin juga karena sedang "in", begitu tulis Heuken. Ia juga mengingatkan kita kepada dua menara di gedung bekas Kantor Imigrasi, Menteng, yang dibangun pada 1913 serta RS Cipto Mangunkusumo (1926).

Pengaruh gaya bangunan Tionghoa tampak pada bentuk atap bangunan utama dan menara, yakni jurai atap melengkung. Tampak pula pada gaya ukir mimbar yang berupa hiasan lotus, daun artimesia serta burung, ayam, dan kerang. Sementara aula di samping merupakan bangunan tambahan.

Orang Betawi meyakini masjid tersebut sangat bersejarah bagi mereka sebab pejuang Betawi sering menggunakan masjid ini sebagai basecamp dalam merencanakan perjuangan. Maka, ketika masjid ini akan digusur, warga Betawi pun tak rela.

Husnizon Nizar, salah satu arkeolog Pemprov DKI yang ikut meneliti dan memperjuangkan agar bangunan itu masuk dalam bangunan bersejarah, menjelaskan, di masa itu ada dua suara, pihak yang merelakan bangunan itu digusur dan dipindah dan pihak yang ngotot masjid itu tak boleh dipindah karena kuat nilai historisnya. Akhirnya, masjid berarsitektur paduan China, Arab, dan Eropa itu tetap di tempatnya hingga sekarang.

WARTA KOTA

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved