Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Masih minim, akses sanitasi dasar : 19,67 persen warga tidak memiliki jamban

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 11 Agustus 2009 | 13:35 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/11/13354857/Masih.Minim..Akses.Sanitasi.Dasar..

Isi:

Bandung, Kompas - Akses masyarakat di pedesaan terhadap sanitasi dasar terbilang masih minim. Bahkan, banyak warga tidak memiliki jamban. Kondisi tersebut memberi tekanan lebih besar terhadap kemiskinan.

"Sebanyak 19,67 persen (data tahun 2007) warga tidak memiliki jamban. Sangat menyedihkan, mereka membuang kotoran ke sungai begitu saja," kata Wisjnuprapto, guru besar teknik penyehatan Institut Teknologi Bandung dalam kuliah akhirnya, akhir pekan lalu, di hadapan Majelis Guru Besar ITB.

Ia mengatakan, hanya kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Cirebon, Yogyakarta, dan Makassar yang memiliki sarana pengelolaan air limbah rumah tangga secara ideal, yaitu terpusat. Namun, jumlahnya masih sangat minim.

Di Jakarta, misalnya, diketahui hanya 1 persen dari wilayah itu yang terlayani sistem pengelolaan air limbah rumah tangga terpusat. Kondisi di Bandung dan Cirebon relatif lebih baik, yaitu mencapai 50 persen.

"Di luar ini (sistem terpusat), masyarakat terpaksa mengusahakan sendiri sanitasinya, yaitu dengan membuat tangki septik di bawah tanah dan cubluk. Yang lebih parah, mereka membuang ke sungai, bahkan yang lebih primitif lagi menimbun dalam tanah begitu saja," ujarnya. Padahal, dampak dari praktik sanitasi yang buruk sangat besar. Bakteri Eschericia coli (E-coli) yang muncul dari sisa-sisa tinja yang terserap di tanah dapat mencemari sumber-sumber air minum. Hal itu dapat menimbulkan penyakit diare, muntaber, dan penyakit pencernaan lainnya.

Sebagai contoh, berdasarkan data Departemen Kesehatan, 75 persen air tanah di Jakarta telah tercemar E-coli dan tidak dapat digunakan sebagai air minum.

Dia mengkritisi kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang beranggapan bahwa pengolahan air limbah rumah tangga dengan cara meresapkan efluen tangki septik ke dalam tanah. "Ini adalah persepsi yang salah. Pengolahan limbah domestik dalam tangki septik maksimum hanya mampu menyisihkan 30 persen BOD (biochemical oxygen demand). Sisanya terserap di tanah," ujarnya. Terendah di Asia

Saat ini baru 55,43 persen penduduk yang terlayani sarana sanitasi yang layak. Itu terendah dibandingkan dengan negara di Asia lainnya. Singapura mencapai 100 persen, Malaysia 74,70 persen, dan Myanmar 64,48 persen.

Padahal, sanitasi yang buruk dapat memberi tekanan yang lebih besar terhadap kemiskinan. "Penyebaran penyakit akan membuat mereka semakin miskin," ujarnya sambil menyebutkan, Indonesia adalah yang terburuk di Asia dalam kasus penyakit menular lewat air.

Diare, misalnya, menjadi pembunuh nomor wahid bayi di Tanah Air. Pada tahun 2007, muncul 3.661 kasus diare di 10 kabupaten/kota dengan tingkat mortalitas sebesar 1,26 persen. Kerugian akibat sanitasi buruk mencapai Rp 56 triliun per tahun.

Tjandra Setiadi, guru besar teknik kimia ITB, mengatakan, penyediaan air bersih dan sanitasi akan semakin krusial pada masa mendatang. "Perubahan iklim sangat memengaruhi ketersediaan air bersih, khususnya di daerah pesisir. Indonesia termasuk yang tidak siap mengantisipasi ini. Jika itu yang terjadi, kemiskinan pun akan semakin hebat," tuturnya. (jon)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved