Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Tanjungpriok berasal dari alat penanak nasi

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
beritajakarta.com: Senin, 24 Agustus 2009 18:51
http://www.beritajakarta.com/2008/id/berita_detail.asp?idwil=0&nNewsId=34881

Isi:

Menarik mengungkap asal muasal nama tempat di Jakarta yang hingga kini masih menjadi misteri. Apalagi belum semua orang mengetahui latar belakang nama suatu tempat di ibu kota yang penuh sejarah itu. Siapa yang tak kenal kawasan Tanjungpriok, Jakarta Utara. Wilayah paling utara Jakarta ini seperti tak pernah tidur dengan kesibukan pelabuhannya. Ada satu yang membekas kenapa kawasan tersebut dinamakan Tanjungpriok, yaitu keberadaan makam Mbah Priok di kawasan Terminal Peti Kemas (TPK) Koja. Warga sekitar juga mempercayai bahwa nama Tanjungpriok berasal dari alat penanak nasi atau priok.

Cerita Tanjungpriok sarat dengan perlawanan masa penjajahan Belanda. Kompeni yang menguasai hampir seluruh nusantara seperti tak terbendung dengan perlawanan senjata. Tak ingin budaya timur yang sopan dan santun tersapu budaya barat, beberapa ulama mulai menyiarkan Islam ke seantero nusantara. Seperti yang dilakukan Habib Hasan bin Muhammad Al Hadad ulama asal Ulu Palembang yang sahid ketika akan menyiarkan Islam ke Batavia.

Menurut Habib Ali, keturunan langsung Mbah Priok, ulama yang dilahirkan pada tahun 1727 masehi di Ulu Palembang ini memiliki nama asli Al Imam Al`Arif Billah Sayyidina Al Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad RA. Sejak kecil Habib Hasan memang tekun mempelajari dan mendalami agama Islam.

Pada tahun 1756, Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad RA bersama Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad RA pergi ke pulau Jawa dengan tujuan menyiarkan agama Islam bersama tiga orang azami dari Palembang dengan menggunakan perahu layar.

Perjalanan Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad RA yang memakan waktu dua bulan mendapat banyak rintangan. Salah satunya, ketika perahu Habib Hasan berpapasan dengan armada Belanda yang memiliki artileri lengkap. Tanpa peringatan, perahu Habib Hasan dihujani meriam oleh kapal Belanda. Hebatnya, tak satupun meriam berhasil mengenai perahu yang ditumpangi Habib Hasan.

Selain kapal Belanda, ternyata perahu yang ditumpangi Habib Hasan tak luput dari gulungan ombak. Gelombang dasyat terus menghajar perahu kecil, sehingga menghanyutkan semua perbekalan yang dibawa. Begitu ombak reda, hanya tersisa alat penanak nasi dan beberapa liter beras yang berserakkan.

Cobaan belum berakhir karena beberapa hari kemudian ombak besar kembali menggulung perahu Habib Hasan. Tak kuasa menahan gelombang besar, akhirnya perahu terbalik dan menewaskan 3 azami yang menyertai habib. Al Imam Al Arif Billah Sayyidina Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad dan Al Arif Billah Al Habib Ali Al Haddad RA selamat. Dengan kondisi yang lemah dan kepayahan, keduanya terseret hingga semenanjung yang saat itu belum bernama.

Ketika ditemukan warga, Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad sudah tewas sedangkan Muhammad Al Hadad masih hidup. Disamping keduanya, terdapat priuk dan sebuah dayung. Akhirnya warga memakamkan jenazah Habib Hasan tak jauh dari tempatnya ditemukan. Sebagai tanda, makam Habib diberi nisan berupa dayung yang menyertainya. Sedangkan priuk diletakkan di sisi makam.

Lambat laun, dayung yang dijadikan nisan terus berkembang dan menjadi pohon Tanjung. Sementara, Priuk yang tadinya berada di sisi makam terus bergeser ke tengah laut. Bahkan warga sekitar mempercayai, selama 3-4 tahun sekali, priuk itu muncul di lautan dengan ukuran makin membesar sampai sebesar rumah. Dengan kejadian tersebut, orang sekitar menamakan daerah tersebut menjadi Tanjung Priuk dan ada juga sebutan Pondok Dayung yang artinya dayung pendek.

Sementara itu sewafat Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad, Habib Ali Al Haddad yang selamat menetap di daerah itu dan melanjutkan perjalanan sampai ke Pulau Sumbawa hingga menetap selamanya di pulau tersebut. Makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad yang awalnya berada di Pelabuhan Tanjungpriok, dipindah ke wilayah pelabuhan peti kemas Koja Utara oleh Belanda. Saat itu Belanda ingin membangun pelabuhan, namun pembangunan selalu gagal karena ada makam keramat di kawasan tersebut. Setelah makam dipindah baru pelabuhan bisa dibangun.

Makam Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad yang wafat pada tahun 1756, kemudian diurus oleh keluarganya yang sengaja pindah dari Ulu Palembang. Menurut Habib Ali, salah satu keturunan Habib Hasan bin Muhammad Al Haddad, karena bersejarahnya, hingga saat ini peziarah rajin mengunjungi makam itu dan mencari ketenangan batin di kawasan tersebut. Bahkan setiap malam Jumat, peziarah di makam itu bisa berjumlah ratusan orang.

Reporter: didit

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved