Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Ayam Goreng Buni, sisa-sisa kejayaan Gang Buni

Format : Artikel

Impresum
Pradaningrum Mijarto - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jumat, 24 April 2009 | 14:45 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/04/24/14452362/ayam.goreng.buni.sisa-sisa.kejayaan.gang.buni

Isi:

GANG Buni, Mangga Besar, Jakarta Barat, setengah abad lalu. Pepohonan buni bisa jadi memenuhi kawasan tersebut. Buni (Antidesma Bunius), adalah pohon yang buahnya berbentuk bulat kecil. Jika sedang berbuah, buni berwarna merah menutupi tangkai daun. Bergerombol bikin penasaran. Pohon dan buah buni kini semakin langka. Pada masa lalu, di kawasan Jakarta, buah ini masih bisa berkumpul bersama buah lain untuk rujak, khususnya rujak bebek.

Kalender Gregorian menunjukkan angka 1958. Pada pagi hari, di lokasi tadi ada satu warung yang lumayan sibuk. Tan Pang Nio, si pemilik, sibuk menyiapkan berbagai lauk buat perut warga Jakarta. Menu yang tiap hari hadir tak lain ayam kampung goreng, nasi uduk, dan ketupat sayur.

Semua menu andalan ini diraciknya sendiri. Dialah yang menentukan cita rasa makanan tadi. Angka pada kalender itu pun terus bertambah. Hingga kini, jika Tan Pang Nio masih bisa melihat, dia pasti bangga. Racikannya bertahan setengah abad, bahkan mungkin hingga setengah abad berikutnya.

Gang Buni yang setengah abad lalu bisa jadi hanya jalan setapak, kini berubah menjadi jalan yang cukup lebar. Nama jalan pun ikut berubah, tak lagi Gang Buni melainkan Jalan Buni Raya. Warung tenda ayam goreng Buni yang menyediakan ayam kampung goreng, nasi uduk, dan ketupat sayur masih berdiri di sana, di pinggir jalan tak jauh di belakang gedung Lindeteves Trade Center dan pertokoan Harco Glodok.

Jika dulu dagangan warung ini lebih fokus, seiring perkembangan zaman, warung yang kini diturunkan pada putra-putrinya itu makin beragam menyediakan menu. Tentu saja, menu andalan tak berubah, ayam kampung goreng, nasi uduk, dan ketupat sayur. Untuk ketupat sayur, pembeli bisa memilih lauk. Bisa dengan tahu atau kentang saja, atau ditambah telur ayam, atau sepotong ayam.

Warta Kota lumayan beruntung ketika terlalu cepat menyambangi warung ini di sore hari. Sekadar catatan, jika dulu kala Tan Pang Nio hanya membuka warung pada pagi hari maka kini di tangan istri Suheli, putra bungsu Tan Pang Nio, warung ini buka dua kali sehari. Di pagi hari, pukul 06.00 warung ini sudah memenuhi kebutuhan sarapan warga. Biasanya pukul 10.00, persediaan sudah ludes. Di sore hari, pukul 16.30 warung ini sudah bersiap-siap lagi hingga sekitar pukul 20.30.

Beberapa waktu lalu, tanpa informasi jam buka, Warta Kota malah beruntung karena bisa menikmati berbagai menu sejak sebelum pembeli mengeroyok menu-menu andalan. Semua makanan masih mengepul bahkan baru saja diangkat dari penggorengan. Ketupat sayur dengan kuah santan dan potongan labu serta buncis dipatok Rp 7.000. Bukan hanya porsi yang mengenyangkan, tapi juga cita rasa kuah sayurnya itu yang bikin mahal. Rasanya tak rela jika kuah sayur itu tak ludes karena terlalu menggoda lidah.

Melahap ketupat sayur tak lengkap tanpa bakwan jagung yang baru saja mentas dari penggorengan. Butir-butir jagung berlapis tepung, bercampur kuah sayur, duh. Apalagi, nah, ini dia, apalagi jika semua itu ditambah ayam kampung goreng atau jeroan si ayam. Tak terkatakan, itu pasti.

Perihal ayam kampung goreng yang dibanderol Rp 10.000 beserta kawan-kawannya, seperti ati ampela, kepala ayam, bahkan brutu, plus tempe dan tahu, juga pas dimakan dengan nasi uduk yang harum, lembut, gurih. Ini belum ditambah cocolan sambal. Sambal ini jadi kekuatan tersendiri. Bumbu kacang ditabur sambal cabai kemudian dikucuri jeruk limo. Sampai di mulut, dijamin lidah akan menari kegirangan. Pedas bercampur manis, asam. Bisa jadi urusan sambal ini tak cukup satu piring mungil.

Nasi uduk ini juga bisa bersanding dengan lauk lain seperti pepes tahu, pepes peda, dan semur jengkol. ”Semur jengkol di sini enak bener. Cepet abis,” ujar seorang pengunjung. Selama berada di warung itu, Warta Kota menyaksikan, kebanyakan pengunjung memesan ketupat sayur, ayam goreng, pepes, semur jengkol, bakwan jagung, dan nasi uduk. Satu panci ukuran sedang berisi semur jengkol cuma perlu kurang dari dua jam untuk ludes.

Urusan pepes, demikian pula. Pepes peda yang dibandrol Rp 13.000 layak untuk jadi rebutan. Bayangkan petai, potongan bawang merah, cabai merah dan hijau, ditambah jamur, tomat menutup si kan peda. Bau dan tampilannya saja sudah mengundang selera.

Perlu diingat, jika Anda sedang sangat lapar jangan buru-buru meluncur ke warung ini, bisa-bisa perut Anda meledak karena makanan yang masuk terlalu penuh. Akan lebih baik jika Anda rasakan bagian per bagian pada waktu yang berbeda, kecuali ukuran perut Anda memang XXXXL.

Barangkali ada yang bertanya-tanya, bagaimana dengan warung ayam goreng Buni di Jalan Labu, Mangga Besar? Apa hubungannya? Ini satu rumpun. Beda pemilik, tapi racikan sama. Satu hal lagi, lauknya tak semeriah di warung aslinya, di Jalan Buni Raya.

WARTA KOTA

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved