Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Sebuah paru-paru untuk Jakarta

Format : Artikel

Impresum
Hasti Tarekat - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 1 Juli 2009 | 13:32 WIB
http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/07/01/1332231/sebuah.paru-paru.untuk..jakarta

Isi:

KOMPAS.com — Jakarta baru saja merayakan ulang tahun, jadi layak mendapat kado. Kadonya adalah informasi bagaimana agar Jakarta mempunyai "paru-paru" yang memadai dan sehat. Jika "paru-paru" Jakarta sehat, maka akan sehat pula penduduk Jakarta.

Paru-paru Jakarta adalah kawasan hijau yang menurut UU No 26 tahun 2007 minimal 13,9 persen dari luas kota. Persentase itu sudah jauh menurun dari peraturan yang berlaku pada tahun 1960-an yang mensyaratkan sekitar 27 persen lahan haruslah kawasan hijau.

Untuk mewujudkan kewajiban menciptakan kawasan hijau yang wajib tersebut, Pemerintah DKI harus bekerja keras dan menghadapi banyak kendala. Pertama, dari segi fungsi penghijauan untuk menahan air, akar pohon tidak bekerja maksimal karena lahan di Jakarta penuh dengan beton. Selain tidak mampu menahan air, pohon-pohon di Jakarta juga tidak maksimal berfungsi sebagai peredam suara dan penurun temperatur. Kedua, untuk mencapai kuota luas kawasan hijau, Pemerintah DKI harus membebaskan lahan yang banyak diambil alih oleh penghuni liar.

Berbagai kendala itu membuat penghijauan di Jakarta masih sebatas tingkat kasat mata atau Leaf Area Index, yaitu perbandingan antara total luas penampang daun dan kawasan di sekitarnya. Kawasan hijau pun terbatas di jalan-jalan utama dan tidak sebanding dengan beban polusi udara dan suara yang menggempur Ibu Kota tanpa henti. Bisa dibayangkan, apa akibatnya jika paru-paru tidak bekerja dengan baik seperti ini.

Kawasan hijau sebenarnya bukan hanya berfungsi sebagai paru-paru kota. Fungsi penting lainnya adalah sebagai tempat penduduk bersosialisasi dalam arti fisik dan mental melalui sarana olahraga dan rekreasi. Kawasan hijau mempunyai fungsi menciptakan kohesi sosial tempat orang bertemu dan berinteraksi.

Pada awal abad ke-20, London menciptakan taman-taman untuk piknik. Untuk masa itu, ide tersebut dianggap revolusioner. Begitu juga dengan taman-taman di Jerman yang berfungsi sebagai sarana olahraga dan rekreasi. Belajar dari Inggris dan Jerman, Belanda juga mengadopsi gagasan yang sama pada tahun 1930-an. Pemerintah Kota Amsterdam saat itu bertekad menciptakan kawasan hijau yang bukan saja untuk dilihat, melainkan juga untuk dimanfaatkan oleh masyarakat.

Satu lagi alasan kuat untuk menciptakan kawasan hijau yang dinamai Amsterdamse Bos (Hutan Amsterdam) ini adalah krisis ekonomi. Pemerintah Kota Amsterdam berusaha menciptakan suatu proyek dengan gagasan "lima tahun kerja untuk seribu orang". Maka bekerjalah sekitar 50.000 tenaga kerja dan proyek ini ternyata memakan waktu lebih dari lima tahun. Bahkan sampai tahun 1940-an masih ada sekitar 20.000 pekerja yang terlibat menciptakan kawasan hijau Amsterdam ini.

Pada tanggal 25 Maret 1970 ditanamlah pohon terakhir di Hutan Amsterdam ini menandai berakhirnya proyek penciptaan lapangan kerja dan paru-paru kota Amsterdam seluas 1.000 hektar.

Hutan Amsterdam memperingati 75 tahun keberadaannya tahun 2009 ini. Sekitar 4,5 juta pengunjung per tahun memanfaatkan kawasan hijau ini untuk berbagai kegiatan. Di sini olahraga yang bisa dilakukan selain berjalan kaki adalah hoki, mendayung, kriket, kano, tenis, sepak bola, berkuda dan memancing. Kegiatan rekreasi yang bisa dilakukan di antaranya adalah menaiki trem antik dan mengunjungi museum, menonton di teater terbuka, berbagai aktivitas untuk anak-anak, serta piknik. Masyarakat bisa mengikuti ekskursi, bisa mengadakan pesta, bisa menonton pameran, dan yang paling populer adalah fungsinya sebagai sarana pendidikan anak-anak. Sebagian besar kegiatan dan fasilitas bisa dimanfaatkan dengan gratis.

Mudah-mudahan Jakarta bisa lebih sungguh-sungguh mewujudkan kawasan hijaunya setelah berulang tahun yang ke-482. Cukup usia untuk bertindak dewasa sebagai sebuah ibu kota; dewasa untuk membedakan antara penghijauan yang kosmetis belaka dan penghijauan yang, bukan hanya baik bagi lingkungan, melainkan juga masyarakatnya.

* Hasti Tarekat adalah dosen tamu di Reinwardt Academy, Amsterdam, Belanda.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved