Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Gereja St Yoseph Matraman jadi saksi sejarah

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 13 Juli 2009 | 11:40 WIB

Warta Kota/Yustina MW

Gereja St Yoseph yang terletak di Jalan Matraman Raya no 127, Jakarta Timur, adalah salah satu gereja tua di Jakarta.

Pada 22 Juni 2009, gereja ini genap berusia 100 tahun. Puncak peringatan seabad dibentuknya Gereja St Yoseph digelar secara meriah, Minggu (21/6), dengan melibatkan 40 pastor dari berbagai ordo atau tarekat, puluhan pekerja atau panitia, dan 3.000-an umat.

Kisah pembangunan Gereja ini berawal dari pembelian sebidang tanah di tepi Matramanweg pada 13 Desember 1906, yang dipersiapkan untuk pembangunan gereja. Tapi, tanggal 28 Desember 1906, daerah ini terlebih dulu dibentuk sebagai stasi (pelayanan umat —Red) yang dilaksanakan oleh Pastor Katedral PJ Hoevenaars SJ.

Tiga tahun kemudian, seperti tercatat dalam Registrum Baptismale I, Ecclesia Catholicae quae est in Meester Cornelis in Insula Java, dilaksanakan permandian atau baptis pertama, 22 Juni 1909. Tanggal permandian ini kemudian ditetapkan Pastor Johanes Djawa SVD (Pastor Kepala 1989-1999) sebagai penanda kelahiran Paroki Matraman. Christina Wilhelmina Cornelia, lahir pada 14 Mei 1909, adalah anak pertama —warga pribumi— yang dibaptis di gereja ini.

Sesungguhnya, pembangunan gedung gereja baru direncanakan 8 April 1923, dengan nilai bangunan 70.000 gulden. Peletakan batu pertama dilakukan tanggal 9 September 1923, dan pembangunan fisik memakan waktu selama 7 bulan.

Tender untuk pembangunan gereja awal dimenangkan oleh Algemeen Ingenieurs Architecten Bureau (Biro AIA). Arsitek perencana gedung gereja ini adalah Ir Frans Johan Lauwrens Ghijsels (1882-1947). Pria kelahiran Toeloeng Agoeng, 8 September 1882, ini adalah arsitek yang membangun gedung-gedung di Batavia waktu itu, antara lain bangunan Stasiun Kota, Vrijmetselaarslogre (sekarang gedung Bappenas).

Nama arsitek ini kemudian diabadikan pada prasasti di lantai Gereja Santo Yoseph, pasca renovasi tahun 2002, tepat pada posisi altar lama Pemberkatan gedung dilakukan Mgr Van Velsen SJ pada 6 April 1924.

Diperluas

Gereja ini bisa menampung 400 umat, dari jumlah umat Katolik di paroki waktu itu sekitar 1.052 orang. Tahun 1970, gedung gereja diperluas ke bagian kiri, dan menyatu dengan rumah Pastor Ordo Soverdi. Perluasan ini diberkati Pastor C Van Iersel SVD. Selanjutnya, areal perluasan ini disebut ‘gereja samping’ dan menampung 800 orang.

Bangunan gereja ini terakhir direnovasi pada masa Pastor Kepala, Pastor Johanes Madiaadnyana SVD. Realisasi pembangunan fisik dimulai Maret 2001 setelah peletakan batu pertama oleh Pastor S Roy Djakarya Pr, ekonomat KAJ (Keuskupan Agung Jakarta). Sedangkan, arsitek gereja renovasi adalah Ir Erawan Kartawidjaja. Setelah melalui proses konsultasi dengan Dinas Museum dan Pemugaran DKI, keluarlah IMB kedua, pada 9 Juli 2001. Pemberkatan gereja renovasi dilakukan Bapa Uskup Agung Jakarta, Julius Kardinal Darmaatma-dja SJ, pada 26 Mei 2002.

Selama 30 tahun pertama, gereja ini didominasi orang asing, khususnya Belanda. Tahun 1921, umat gereja ini masih berjumlah 1.052 orang, dan sempat berkembang pesat jadi 13.000 orang pada tahun 1985. Karena makin banyaknya Paroki di Jakarta, umat gereja ini pun terpecah, dan tahun 2004 tinggal 5.577 orang.

Tahun 1974-1979, Pastor Jan Lali SVD tercatat sebagai pastor kepala paroki pertama yang pribumi. Pastor Jan yang kini berusia 91 tahun adalah salah satu imam yang tampil di altar saat misa perayaan 100 tahun, pekan lalu.

Desa terpencil

Mencari alamat gereja ini tak sulit, karena sepanjang Jalan Matraman Raya, hanya ada satu tempat ibadat untuk umat Nasrani. Menurut sejarawan Jakarta Alwi Shahab, penamaan Matramanweg atau jalan Matraman terkait dengan keberadaan pasukan Mataram yang membangun parit pertahanan untuk pasukannya di daerah ini (1628-1629). Tahun 1813 Herman Willem Daendels menggeser pusat pertahanan Batavia di Meester Cornelis (kawasan yang kini disebut Jatinegara), demi menangkal serbuan Inggris.

Selanjutnya, Matramanweg menjadi bagian kota militer Meester Cornelis. Matramanweg tak lepas dari peran jalan raya penghubung untuk pengangkutan militer dari Meester Cornelis ke pusat kota Batavia, di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Nama Meester Cornelis adalah milik Cornelis Senen, seorang guru, pendoa, dan pengkotbah yang melayani orang Portugis yang beragama Protestan. Atas karyanya, pemerintah Belanda memberinya gelar Meester (Master dalam bahasa Inggris —Red), dan mendapatkan sebidang tanah yang digunakan sebagai perkebunan kelapa, pertanian sawah, perkebunan tebu, tahun 1661.

Hingga tahun 1870, jalan raya Matraman masih seperti pedesaan terpencil. ”Di kiri kanan jalan masih terdapat banyak pohon kelapa dan pisang. Sedangkan di pinggir jalan raya terdapat tiang lampu minyak yang dinyalakan pada malam hari,” ujar Alwi Shahab. (Yustina MW)
===
Jumat, 8 Mei 2009 | 17:05 WIB
http://wartakota.co.id/read/sudutkota/4016
Kerontjong Toegoe Andalkan Tiga Lagu

RUMAH ini milik keluarga Michiels dan menjadi satu-satunya bangunan yang tersisa di kawasan Tugu, selain Gereja Tugu. Kalimat tersebut terlontar dari mulut Arthur Michiels, generasi kesepuluh keluarga Michiels, saat Warta Kota datang ke rumahnya di Jalan Raya Tugu, Plumpang, Jakarta Utara, Kamis (30/4) siang.

Sebuah rumah sederhana yang setiap hari ditemani suara bising karena lalu-lintas ratusan truk besar pembawa peti kemas itu menjadi saksi bisu sejarah perkembangan komunitas masyarakat Portugis di Indonesia. Komunitas itu terus berkembang sampai sekarang.

Meskipun panas karena lalu-lalang truk peti kemas yang tak pernah berhenti, suasana di rumah tetap terjaga kesejukannya. Ada pepohonan rindang di halaman depan yang membuat rumah yang dimiliki keluarga Michiels itu tetap terasa adem.

Rumah yang pada bagian atasnya terdapat ukiran kayu berbentuk bintang—simbol orang Tugu sejak ratusan tahun lalu—itu masih kokoh berdiri. Di rumah yang berjarak sekitar 50 meter dari Gereja Tugu yang bersejarah itu pula kelompok orkestra Kerontjong Toegoe tumbuh dan berkembang. Beberapa foto kunonya terpasang di beberapa sudut rumah.

Arthur menceritakan, kakek buyut pertamanya yang bernama Titus Michiels adalah seorang serdadu bangsa Portugis keturunan Belanda. Titus datang dari tanah Malaka (Malaysia) ke Batavia sebagai tawanan perang tahun 1641 usai Portugis kalah perang. Titus yang dikenal sebagai komandan pasukan Mardijkers (serdadu perang keturunan Belanda) ini dibebaskan tahun 1653.

Delapan tahun setelah dibebaskan, tahun 1661, Titus kemudian membawa 23 keluarganya (sekitar 150 jiwa) keluar dari Batavia dan membuka hutan lebat yang kemudian dikenal sebagai daerah Tugu di Jakarta Utara itu. Dari sinilah perjalanan keluarga Michels dimulai.

Setelah generasi Titus, muncul penerusnya mulai Andries Michielsz, Jonathans Michiels, Augustijn Michiels, Michie Augistijn Michiels, Julius Michiels, Adriaan Michiels, dan Mathias Michiels, hingga Arend J Michiels. Arend J Michiels adalah ayah kandung Arthur. Dari ayahnya tersebut Arthur mengenal musik keroncong. Berdasarkan kisah leluhur, rumah sederhana yang masih kokoh dan menjadi rumah tinggalnya sekarang itu dibangun tahun 1820-an. ”Bangunannya masih asli, tidak ada yang diubah,” jelas Arthur (40).

Di daerah Tugu, hanya Gereja Tugu yang dibangun tahun 1744—diresmikan pendeta Johan Mauritz Moore, seorang Jerman keturunan Portugis—dan rumah milik keluarga Michiels itu yang sampai sekarang masih berdiri.

Tahun 1972 ketika Gubernur Ali Sadikin memimpin Jakarta, dua bangunan itu diresmikan sebagai bangunan cagar budaya yang harus dilindungi. Gereja Tugu dibangun dengan biaya 12 ribu ringgit. Dari gereja yang kini berusia 261 tahun itu pula Kerontjong Toegoe terbentuk.

”Musik kerocong ini dibawa orang Portugis. Awalnya hanya untuk menghilangkan rasa lelah atau untuk pesta-pesta. Begitu ada gereja, musik keroncong juga turut dinyanyikan,” terang Arthur yang jadi dedengkot Kerontjong Toegoe ini bersama Andre Michiels.

Grup Kerontjong Toegoe memiliki tiga lagu utama berbahasa Portugis, yaitu Cafrinho yang bercerita tentang perjalanan orang Portugis, Gato Do Mato soal kucing liar dan Jan Cagar Leite.

Lirik lagu Jan Cagar Leite yang diciptakan abad ke-17 itu mengisahkan tentang wabah diare dan kolera yang menyerang Batavia tahun 1700-an hingga membuat ribuan orang meninggal.

Di wilayah Tugu, sekarang hanya tersisa enam keluarga dari 23 keluarga yang dulu pernah menetap di daerah tersebut. Selain Michiels, masih ada jejak keluarga Abraham, Andries, Braune dan Cornelis, serta Quiko.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved