Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2009
Deskripsi
Sumber:
Wartakota: Rabu, 18 Maret 2009 | 15:49 WIB
http://wartakota.co.id/read/pelesir/1719
Isi:
Sesuatu yang khusus dan terawat dengan baik di sebuah desa bisa dijadikan tujuan wisata.
"Kami harus bisa menjual sesuatu yang khusus, khas, dan terawat baik," kata Dino Suteja, pemilik "Family Tour", perusahaan jasa perjalanan wisata di Palembang, di sela satu pertemuan di Nusa Dua, Bali.
Menurut Dino Suteja, sesuatu yang khas dan terawar baik itu yang diinginkan banyak wisatawan. "Apalagi wisatawan manca negara, mereka sangat mencari sesuatu yang seperti itu," katanya.
Dino merupakan satu dari sejumlah perangkat dan pelaku kepariwisataan Sumatera Selatan yang sedang menimba pengalaman Bali dalam mengembangkan pariwisata. Hampir seluruh petinggi di bidang kepariwisataan Sumatera Selatan datang ke Bali, begitu juga para pelaku bisnis wisata.
Mereka ingin mengetahui seluk-beluk Bali mengembangkan pariwisata pedesaan, pilihan yang bisa menyokong jenis wisata lain di Pulau Dewata itu. Bali terlanjur menjadi ikon wisata internasional dan sangat mudah menjumpai warga berbagai negara di sana.
Belakangan, banyak wisatawan bertubuh tinggi dengan rambut pirang emas dan mata kecoklatan berjalan-jalan di kawasan Sanur, Kuta, Nusa Dua, Kota Denpasar, dan sebagainya. Saat didekati, mereka berbicara dalam bahasa Rusia atau Ukrainia.
Kawasan Eropa Timur menjadi pasar baru bagi Bali selain Jepang, Korea Selatan, Taiwan, China, Amerika Serikat, Eropa Barat, dan... tentu saja Australia, yang jaraknya hanya "sepelemparan batu" dari Bali.
Wisatawan berbahasa Rusia itu juga tidak cuma memenuhi kawasan Kuta. Mereka banyak diantar para pengelola wisata Bali ke desa-desa di seputaran Kabupaten Gianyar, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Tabanan, hingga Kabupaten Klungkung. Berbagai oleh-oleh mereka beli dengan harga turis, tentu saja.
Di antara yang banyak dibeli adalah kain tenun ikat yang memang memberi pesona lebih ketimbang kain lain. Bali sejak beberapa tahun belakangan memberi porsi lebih kepada pariwisata di pedesaan yang memiliki keunggulan ketimbang kawasan wisata "tradisional" di sana, di antaranya Kawasan Kuta dan Nusa Dua.
"Sangat tepat jika pariwisata pedesaan ini dijadikan andalan kita bersama, bukan cuma Bali," kata Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya saat beramah-tamah menerima koleganya dari Sumatera Selatan itu.
"Referensi kami terkait dengan isu yang sangat akrab dengan dunia pariwisata, yaitu pemanasan global karena pranata pendukung pariwisata di seluruh dunia ini memberi sumbangan cukup besar, yaitu lima persen terhadap efek gas rumah kaca," katanya
Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) dalam pertemuan akbar terakhir di Bangkok belum lama ini, katanya, telah membuat peta rancangan pariwisata dunia hingga 2050. Tema pokoknya adalah dunia diharap mampu membuat dan mengembangkan pariwisata berwawasan lingkungan.
"Kami di Bali berprinsip begini, jangan merusak lahan jika Anda yakin tidak mampu memperbaiki dan mengembalikannya ke kondisi awal sebelum lahan itu rusak. Hal ini penting sekali karena lahan kami sangat terbatas dan sekali lahan itu rusak maka tidak akan bisa dipulihkan lagi dalam waktu menengah. Pasti waktu sangat lama," katanya.
Perkembangan pariwisata Bali kini, katanya, tidak bisa lepas dari perintisan wisata Bali sejak 1900 oleh seorang petualang Belanda bernama van Koel. Setelah puas menjelajahi Nusantara, dia akhirnya parkir dalam waktu lama di Bali karena melihat keunikan Pulau Dewata itu. "Hasil perjalanannya itu kemudian dituangkan dalam buku dan dibaca banyak orang di Belanda dan Eropa secara umum. Karya sastranya itu menjadi acuan pertama bagi kalangan Eropa," katanya.
Kunjungan wisatawan manca negara pertama kali ke Bali terjadi pada 1925, setelah maskapai pelayaran Belanda KPM (cikal-bakal PT Pelni) membawa serombongan pelancong ke Singaraja karena Kota Denpasar belum menjadi apa-apa saat itu. Pelancong dalam jumlah lumayan banyak itu kemudian diinapkan di rumah-rumah penduduk.
Dari situlah sebetulnya konsep pariwisata pedesaan dengan berbagai aktivitas sosial dan religi Hindu Dharma-nya dibawa masuk ke Bali. Nuansa religi yang sangat kental itulah yang ingin dibeli oleh wisatawan karena tidak mungkin bisa menemukannya di Belanda, katakanlah di Provinsi Groeningen, umpamanya.
Menurut Nurjaya, penduduk sangat menikmati "devisa" gulden yang langsung berpindah dari tangan para turis ke tangan mereka. Jadi, masyarakat adat setempat saat itu sangat berdaulat dalam mengembangkan pariwisata "tempo doeloe" itu. Turis senang, masyarakat setempat puas.
Hotel pertama
Pada 1925 itu juga dibangun hotel pertama di Bali, yaitu Hotel Bali, dengan kapasitas kamar terbatas. Suguhan acara piknik dan pelancongan juga tetap berpusat pada kehidupan masyarakat pedesaan dengan sentuhan apresiasi di sana-sini.
Tari calonarang, sebagai misal, masih memakai ornamen asli dan arena pementasan alami sehingga suasana magis dan sakral betul-betul bisa dibangun. Barulah sejak 1963, hotel dengan konsep modern dibangun di Kawasan Sanur, yaitu Hotel Bali Beach, yang dibangun memakai pampasan perang dari Jepang. Bangunan itu menjulang tinggi untuk ukuran Bali, hingga 10 lantai dan langsung menghadap ke Samudera Hindia.
Hotel yang sama juga dibangun Bung Karno di Sukabumi, Samudera Beach Hotel, yang sama-sama menghadap ke Samudera Hindia. Entah mengapa Bung Karno gemar betul dengan Samudera Hindia di sisi selatan Nusantara. "Akan tetapi disadari bahwa pembangunan hotel seperti itu hanya bisa dilakukan pemodal besar. Kemungkinan besar tidak akan memberi manfaat lebih kepada masyarakat umum karena saat itu diinginkan pariwisata ini bisa meluas manfaatnya kepada masyarakat umum," kata Nurjaya.
Karena itulah kemudian dibuat konsep "home stay" alias pemondokan di sela-sela bangunan milik penduduk lokal di Bali. Konsep ini makin dimatangkan pada 1974 setelah satu kajian dari tingkat pusat memutuskan bahwa pembangunan hotel berbintang dipusatkan di Kawasan Nusa Dua oleh "Bali Tourism Development Corporation".
Tapi hal itu juga diciderai, dan sejumlah orang di Bali masih ingat bagaimana pemerintah pusat saat itu sangat sentralistik dan sarat KKN. Ada satu "petunjuk" dari pusat bahwa satu investor boleh membangun hotel berbintang di Kawasan Kuta, dan "petunjuk" itu tidak ada yang bisa melawannya.
Alhasil sejak itu Kuta dan sebagainya dipenuhi hotel berbintang, termasuk Kawasan Ubud, satu kawasan yang sangat diagungkan pelukis Le Mayeur sebagai nirwananya seni lukis berbasis spiritualisme, sebagaimana yang dia anut dalam semua karyanya.
Kini, harga tanah di Ubud luar biasa mahal. Kabarnya, ada sebidang tanah milik penduduk lokal yang dipatok seharga Rp2 miliar per are, alias Rp200 juta per meter persegi. Harga segitu pun dibeli investor sehingga lama kelamaan orang Bali bisa bernasib sama seperti orang Betawi, menjadi penonton di kampung sendiri.
"Salah satu penyumbang hal-hal seperti itu adalah ketentuan perundangan yang seolah sinkron namun pada praktek hukumnya sangat bertabrakan dengan konsep awal yang disepakati. Apalagi kini era otonomi daerah di mana kabupaten sangat memainkan peran penting dalam pembangunan daerah," kata Nurjaya.
Jika pada 1974 Bali memiliki Rancangan Induk Pariwisata, maka kini hal itu belum dimiliki lagi dengan sejumlah penyempurnaan, penyesuaian dengan produk perundangan negara, hingga prediksi dan model yang diharapkan bisa diwujudkan pada masa mendatang.
Jadilah Bali memilik banyak sekali wajah. Istilah orang Barat, "Bali is a little paradise where east meets west", dan sebagainya. Kucuran dolar, yen, euro (belakangan), dan lain-lain mata uang menjadi mata air yang terus-menerus digali. Kalau hampir kering, digali lebih dalam dan dalam lagi.
Seorang turis Inggris yang telah berumur, di Kuta, satu kali pernah menyatakan kekecewaannya terhadap kawasan pantai yang sangat dia kagumi pada dasawarsa ’70-an. "Sebetulnya, Kuta ini jauh lebih indah dari Pattaya di Thailand. Namun kekhasan yang dicari-cari orang itu memudar karena terlalu banyak bangunan modern yang isinya menjual apa saja di seputaran kawasan ini. Sangat ingar-bingar," katanya.
Celetukan-celetukan seperti itu bukan tidak dipahami oleh pemegang otoritas kepariwisataan Bali. Buktinya, Dinas Pariwisata Bali mencanangkan pengembangan pariwisata pedesaan sebagai satu pamungkas yang akan menjadi unggulan pada masa mendatang.
Hal ini bagai gayung bersambut, karena dalam masyarakat Bali juga dikenal konsep tata laksana desa adat alias desa pakraman. Masyarakat desa adat setempat itulah yang "diberi kewenangan" untuk lebih memberdayakan desa dan seluruh penduduknya sehingga pemerintah hanya berfungsi sebagai fasilitator dan administratur saja.
Nurjaya berkata, "Kalau nanti teman-teman dari Sumatera Selatan berstudi banding, menurut jadual, ada juga kunjugan ke Tanah Lot di Kabupaten Tabanan, tengoklah bagaimana desa pakraman itu ikut mengelola kawasan wisata itu."
Di daerah itu, keterlibatan masyarakat adat setempat dalam hal pengelolaan kawasan wisata sangat banyak.
Dinas Pariwisata Bali juga sedang menyiapkan beberapa desa adat dengan kekhasan sangat spesifik, yaitu Desa Bayunggede, di Kintamani, Kabupaten Bangli. Satu lagi Penglipuran, yang juga di Kabupaten Bangli. Kintamani yang sohor dengan anjing khas Bali-nya, memang diketahui masih minus ketimbang kabupaten lain di Bali. Kedua desa ini masih memelihara nilai-nilai tradisi leluhur secara konsisten.
"Awig-awig" alias peraturan dan hukum adat sangat dipelihara dan dijunjung tinggi di sana, mulai dari "asta kosala asta kosali" dalam pembangunan rumah dan kompleks pemujaan pura, hingga tata cara penguburan jenasah.
Menurut Nurjaya, semua keaslian dan keluhuran budaya itu harus dipelihara dengan masarakat desa adat setempat sebagai pemain inti alias subyeknya.
Hal itu sangat berbeda dengan di Ubud, yang kini sangat mirip seperti mal di tengah desa karena hampir setiap "galeri seni" di sana terbangun dari bangunan kayu berkaca lebar-lebar dengan tembakan sinar lampu kemilau.
Di Desa Bayunggede dan Desa Penglipuran, hal-hal seperti itu masih belum ada dan diharapkan tetap tidak ada. "Bukankah orang rela rogoh dolar dalam-dalam untuk merasakan sesuatu yang berbeda dalam hidupnya, minimal sekali seumur hidupnya?" katanya.
"Kami sedang menggodok hal itu secara sangat serius. Hal paling penting dari semuanya adalah penyiapan sumber daya manusia setempat karena mereka akan menjadi pelaku utamanya. Di Bali kampanye masyarakat ’darwis’ alias sadar wisata semakin kerap dilakukan," kata Nurjaya. (Antara/tig)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved