Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Ilmu Pranoto Mongso mulai ditinggalkan petani

Format : Artikel

Impresum
Eny Prihtiyani - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas.com: Jumat, 4 September 2009 | 19:29 WIB
http://regional.kompas.com/read/xml/2009/09/04/19295480/ilmu.pranoto.mongso.mulai.ditinggalkan.petani

Isi:

BANTUL, KOMPAS.com - Pemahaman cuaca atau yang lebih dikenal dengan pranoto mongso mulai ditinggalkan petani-petani. Mereka lebih tergiur menggenjot produksi tanpa memperhatikan kemungkinan serangan hama akibat cuaca, karena sebagai tawaran penyemprot hama tersedia di pasaran.

"Petani hanya fokus untuk menggenjot produksi. Pupuk kimia dipakai secara berlebihan, begitu juga dengan pestisida. Padahal penggunaan pestisida berlebihan justru menciptakan resistensi bagi hama," kata Widodo, Koordinator Petugas Pengendali Organisme Pengganggu Tanaman Bantul, Jumat (4/9).

Menurutnya, teknologi peningkatan produksi secara modern dengan pupuk kimia dan pestisida membuat petani melupakan ilmu warisan leluhur. Ilmu pranoto mongso sangat penting karena petani bisa menghindari musim penetasan hama.

"Untuk jenis wereng dan penggerek batang misalnya, penetasan telur akan terjadi pada awal musim hujan karena tingkat kelembaban sangat tinggi. Makanya petani harus membuat perhitungan masa tanam untuk menghindari hama tersebut," katanya.

Agar petani teringat kembali pada ilmu pranoto mongso, Pemerintah Kabupaten Bantul menyelenggarakan sekolah lapangan iklim di 5 kecamatan yakni Imogiri, Jetis, Piyungan, Bambanglipuro, dan Sedayu. Lewat program tersebut, petani diajari untuk memahami pola cuaca untuk mendapatkan pola tanam terbaik.

Dia mengatakan, pemahaman cuaca juga memungkinkan petani menanam dengan kondisi cukup air. "Mereka harus bisa memanen air hujan dan menyimpannya untuk persedian pada musim kemarau," katanya.

Ada berbagai cara yang diajarkan untuk memanen air hujan yakni membuat terasering di perbukitan, kubangan air di lahan pertanian, penanaman vegetasi, serta pembuatan sumur resapan di pemukiman penduduk.

Paiman (60), seorang petani di Potorono, Banguntapan mengaku masih mengingat ilmu pranoto mongso, namun karena setiap kali masa tanam selalu dipaksa oleh temannya. "Saya sebenarnya mau menunggu masa tanam pas sesuai penanggapan pranoto mongso, tetapi kadang tidak boleh oleh petani lain. Kata mereka musim tanam harus serentak," katanya.

Ia membenarkan kalau pranoto mongso menghindarkan petani dari kegagalan panen akibat serangan hama dan cuaca. Sayangnya petani-petani muda sudah tidak memedulikan lagi.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved