Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Jangan abaikan fasilitas perumahan

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 18 Juni 2009 | 18:55 WIB
http://properti.kompas.com/read/xml/2009/06/18/18555384/jangan.abaikan.fasilitas.perumahan

Isi:

KOMPAS.com - Kalau sempat membaca iklan atau brosur perumahan dan apartemen, Anda pasti mendapat informasi menarik tentang pusat hunian tersebut. Pasti ada informasi yang menyatakan bahwa perumahan atau apartemen itu menyediakan fasilitas kolam renang, pusat kebugaran, taman luas, lokasi strategis dan sebagainya.

Akan tetapi, tidak banyak yang menerangkan bahwa mereka memerhatikan lingkungan sekitar. Tidak banyak pula yang menyebutkan bahwa mereka membangun fasilitas sosial, jalan keluar masuk komplek, trotoar di dalam dan di luar perumahan, air bersih untuk warga sekitar dan sebagainya.

Sebagian pengembang terkesan berpikir sederhana tentang fasilitas warga. Mereka terjebak dalam pemikiran bahwa fasum dan fasos itu selalu berupa lapangan tenis, futsal, basket, kolam renang, arena joging, rumah ibadah.

Mereka terkesan abai pada tugas mulia pengembang untuk menghadirkan apartemen atau perumahan manusiawi. Sentra hunian bisa disebut beradab kalau para penghuninya merasa nyaman, aman, tenteram, jauh dari aksi kriminal, udara bersih, bisa beribadah, bersekolah, berobat, berbelanja dan infrastruktur yang terjaga.

Sarana seperti apa sebetulnya yang mutlak diperlukan warga, di luar beberapa aspek tersebut? Pertama, air minum. Air dengan kualitas minimal PAM harus tersedia. Warga pun bisa mengambil air tanah (sebagai cadangan), jika suplai air dari saluran induk terhenti sama sekali. Kedua, saluran air kotor harus terjaga.

Pengembang tidak bisa hanya membuat selokan kecil, lalu urusan selesai. Air selokan harus mengalir ke selokan induk. Jika bisa air limbah diolah kembali untuk digunakan menyiram jalan dan tanaman.

Ketiga, pengembang mesti menampung air hujan untuk diolah menjadi air layak minum. Jangan mengandalkan air tanah, sebab air tersebut harus dihemat. Pengembang pun mesti membangun rumah yang satu paket dengan sumur resapan. Penghuni rumah harus menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa ia akan memelihara keberadaan sumur resapan. Langkah ini terutama untuk menjaga ketersediaan air tanah. Air dari pelimpahan tidak boleh langsung masuk selokan dan seterusnya ke laut.

Keempat, pengembang (dan warga) harus komit menanam tumbuh-tumbuhan. Yang ditanam pun ticlak boleh asal-asalan. Tanaman itu seyogyanya lebat sehingga mampu mengisap karbon sebanyak mungkin. Makin banyak pohon lebat, udara akan makin bersih. Ada kontribusi menyelamatkan bumi, sekecil apapun kontribusi itu.

Kelima, mestinya ada trotoar di dalam dan di depan perumahan. Trotoar ini di satu sisi memberi rasa aman bagi para pejalan kaki. Di sisi lain, is berperan memperindah sentra hunian tersebut. Trotoar ibarat foto elok yang diberi bingkai indah.

Khusus tentang masalah trotoar ini kerap kurang memperoleh perhatian cukup dari para pengembang. Sebagian pengembang memanclang trotoar tidak penting sebab warga bisa berjalan kaki di tepi jalan perumahan. Pandangan ini jelas keliru sebab sentra perumahan pun membutuhkan trotoar.

Cobalah berjalan ke perumahan-perumahan berskala besar di DKI Jakarta dan sekitarnya, di Surabaya dan sekitarnya atau di kota-kota besar lainnya. Kalau dalam satu kota terdapat 100 perumahan dan apartemen, maka yang mempunyai trotoar mungkin tidak sampai 10 persen. Sisanya tanpa jalur bagi pejalan kaki sama sekali.

Ini kenyataan yang sangat menyedihkan. Sekadar ilustrasi, perumahan-perumahan di Eropa, Jepang, Australia dan Amerika Serikat sangal memerhatikan aspek manusiawi ini.

Pengembang atau bahkan pemerintah setempat selalu membangun jalur bagi kaum pejalan kaki. Jalurnya pun selalu dalam kondisi bagus. D sisi kanan dan kirinya selalu penuh rumput hijau yang terpelihara sangai baik. Pohon-pohon rindang selalu tumbuh bahagia bersama rumput-rumput hijau tersebut.

Datanglah misalnya ke Washington DC. Peruwahan-perumahan d kota itu umumnya dilengkapi jalur pedestrian yang manusiawi. Warga tidak letih berjalan sebab ia berjalan di bawah pohon rimbun, udara yang bersih serta trotoar yang terpelihara sangat baik.

Di Paris, Munchen, dan Wina, pemandangannya juga sangat menawan. Penghuni perumahan memperoleh fasilitas sangat menyenangkan. Memang betul harga rumah menjadi lebih mahal sebab pengembang mesti membeli ruang lebih luas, tetapi publik Jakarta yang mempunyai uang cukup tidak akan keberatan membeli rumah lebih mahal tetapi manusiawi dan elok.

Tidak terlampau asyik kalau kerap memerdebatkan persoalan ini. Akan lebih baik kalau pengembang, juga pemerintah, bertindak konkret: membangun jalur pedestrian yang manusiawi. Suka tidak suka, jalur bagi pejalan kaki itu, juga fasilitas lain, menjadi simbol pengembangnya manusiawi atau tidak.

AS

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved