Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Kemacetan dan Denda Eksternalitas...

Format : Artikel

Impresum
Haryo Damardono - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 24 September 2009 | 03:12 WIB
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/09/24/10303625/kemacetan.dan.denda.eksternalitas...

Isi:

Asap knalpot penyumbat pernapasan, pohon yang tidak lagi hijau, raibnya burung, taman yang tidak disinggahi anak-anak, itukah hidup yang Anda idamkan? Pilih mana, bersama keluarga di rumah, atau membuang umur di jalan?

Kemacetan adalah ancaman serius. Kota-kota utama di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar, makin terjebak kemacetan.

Di Jakarta, angkutan massal cepat (mass rapid transit/MRT) berbasiskan kereta direncanakan beroperasi tahun 2016. Padahal, di atas kertas—yang menghitung pertumbuhan kendaraan dan luas jalan, diketahui Jakarta macet total tahun 2014.

Adanya Institut Teknologi Bandung (ITB), yang menelurkan belasan ahli transportasi, ironisnya juga tidak membebaskan Kota Bandung dari perangkap kemacetan.

Surabaya pun sama saja macet karena tidak didukung angkutan massal. Padahal, trem pernah ada di Surabaya sejak Desember 1889. Lebih cepat dari trem Amsterdam yang beroperasi Juli 1899, dan trem Tokyo yang mulai jalan tahun 1903.

Melumpuhkan ekonomi

Kemacetan di Bali juga mulai menjengkelkan. Tapi, bukannya membangun angkutan massal, pemda setempat malah menyerahkan ke swasta bisnis penyewaan mobil dan motor.

Tidak adakah prediksi pelemahan ekonomi bila Kuta, Legian, dan Jalan By-Pass Denpasar selalu macet? Bagaimana ekonomi setempat bila wisatawan enggan ke Bali?

Kemacetan memukul perekonomian. Dewan Editor Financial Times, Tim Harford dalam buku Detektif Ekonomi, sampai membahas "Lalu Lintas Kota yang Padat" di bab tersendiri.

Intinya, ada biaya eksternal dari kendaraan yang memacetkan kota, yang tak hanya dipikul pengemudi itu sendiri, tetapi juga orang lain. Ada produktivitas yang terbuang, pencemaran, kebisingan, hingga kecelakaan.

Di Inggris, tulis Harford, setiap tahun pengemudi membayar pajak senilai 20 miliar poundsterling untuk kendaraan dan bahan bakar.

Pertanyaan besarnya, bukan apakah mereka telah membayar dengan memadai, melainkan apakah mereka telah membayar sesuatu yang benar?

Masalahnya, pengemudi selalu merasa benar karena telah membayar pajak secara tunai untuk satu tahun. Jadi, selalu harus dicari metode lain sehingga pengemudi jera atau minimal membatasi penggunaan kendaraan pribadi.

Lalu bagaimana metodenya? Bisa dengan menerapkan denda eksternalitas. Andai Jakarta berhasil menerapkan electronic road pricing (ERP) di Jalan Thamrin, pengemudi tidak hanya membayar pajak tahunan, tetapi juga biaya ERP setiap kali melintas jalan itu.

Denda eksternalitas juga seharusnya dapat diatur untuk memajaki pengemudi setiap kali mendahului sepeda, sebab merugikan kesehatan penggowes. Bisa jadi, ada tambahan denda setiap kali mobil dijalankan karena mesin lupa direparasi sehingga asapnya mencemari lingkungan.

Teknologinya sudah ada, mulai dari sensor yang terkoneksi dengan global positioning system (penentu lokasi) hingga alat pendeteksi emisi. Tinggal maukah kita menerapkannya?

Mungkin denda eksternalitas, diartikan "perampokan" dari kantong-kantong rakyat. Padahal, bukan mustahil denda eksternalitas yang membuat jera pengemudi dapat meningkatkan produk domestik bruto.

Mengapa? Karena produksi lebih tinggi akibat pekerja tiba tepat waktu di tempat kerja, atau harga barang lebih murah karena logistik lebih efisien.

Harus diakui, pemerintah lamban membangun angkutan massal sehingga tampaknya masyarakat akan dengan mudah menolak denda eksternalitas.

Persoalannya, di tengah kemacetan yang menggila, harus ada terobosan, seperti denda eksternalitas. Masyarakat juga harus mendukung transportasi alternatif seperti sepeda. Bila tidak, silakan merasakan kemacetan total yang akan melumpuhkan perekonomian.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved