Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2008
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 26 Agustus 2008 | 09:25 WIB
http://www.kompas.com/lipsus082008/daendels_read/2008/08/26/09253145/panarukan.pelabuhan.tberakhir
Isi:
Jarum jam baru menunjukkan pukul 10.00, tetapi teknisi menara suar Pelabuhan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur, RS Tri Rahayu sudah bisa sejenak rihat. Selesai sudah tugasnya memandu kapal-kapal pengangkut garam dan kayu kelapa merapat untuk bongkar muat.
Suasana pelabuhan makin sepi, para buruh tukang angkut garam atau kayu melepas lelah di emper mercusuar tua buatan tahun 1883. Kondisi yang terjadi hampir setiap hari. "Hanya satu-dua kapal merapat membawa garam dari Madura atau kayu gelugu kelapa dari Sulawesi. Paling-paling ditambah kapal pengangkut kulit kerang, juga dari Sulawesi," kata Tri Rahayu, Kamis (7/8).
Ketika senja turun di Pelabuhan Panarukan, ingatan melayang kepada Pramoedya Ananta Toer. Dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels Pram mengaku tak pernah berjalan di atas bumi Panarukan. Kota yang menjadi akhir jalan Daendels yang disebutnya, "pada masanya menjadi pelabuhan terpenting di bagian tertimur pantai utara Pulau Jawa".
Pram layak kecewa. Sejak tahun 1960-an, Panarukan tak lagi menjadi pelabuhan internasional. Kini, Panarukan hanyalah pelabuhan lokal, tempat singgah kapal antarkota atau pulau kecil di sekitarnya.
Awalnya, pelabuhan ini dikelola Panaroekan Maatscappij yang didirikan tahun 1886. Sejak pendiriannya, Pelabuhan Panarukan sudah dikenal oleh pasar dunia melalui ekspor komoditas gula, kopi, tembakau, karet, dan jagung. Namun, pelabuhan ini makin sulit melayani pendaratan kapal karena pendangkalan.
Pulau Jawa pernah dikenal sebagai pengekspor komoditas pertanian dan perkebunan berkualitas nomor satu. Konsumen Eropa tahun 1830 hingga pertengahan 1900-an sangat meminatinya, saat pemerintah kolonial memberlakukan sistem tanam paksa. Setiap kawasan di Pulau Jawa diharuskan menanam komoditas tertentu. Hasilnya, muncul diferensiasi kawasan sesuai dengan komoditas unggulannya.
Menurut guru besar sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Sediono MP Tjondronegoro, sistem tanam paksa berhasil menggelembungkan pundi-pundi Belanda. Sebaliknya, tertinggal jejak pilu kepada masyarakat pribumi yang hanya menjadi buruh pekerja dan hidup miskin.
Namun, saat ini, catatan "emas" itu memudar seiring waktu. Beberapa pabrik tutup dan sebagian lainnya terus berusaha di tengah segala keterbatasan; memproduksi gula dan bersaing dengan produsen dunia dengan dukungan mesin peninggalan zaman Belanda.
Perkebunan di Jawa pun terus menyurut. Menurut guru besar IPB, Prof Endang Gumbira Sa’id, matinya perkebunan juga terkait erat dengan kebijakan pemerintah untuk menumbuhkan kota. Pola industri yang didukung pasokan bahan baku dari kawasan sekitarnya tidak lagi diterapkan. Kota-kota industri bermunculan dengan ditopang bahan baku dari kawasan yang jauh, bahkan impor. Lahan-lahan produktif, seperti tambak, sawah, atau kebun, diubah menjadi kawasan industri atau permukiman yang ternyata dikuasai para pemodal. Nyaris tidak terjadi peningkatan daya hidup bagi para petani.
Menyusuri jalur utama dan jalan-jalan desa antara Anyer di Banten hingga Panarukan di Jawa Timur mempertemukan kembali tim Ekspedisi Kompas dengan fakta tentang yang baik dan buruk, yang sedih dan gembira, tentang kegundahan dan harapan.
Baik dan buruk, sedih dan gembira, harapan dan keputusasaan adalah dua titik dikotomis yang saling menunggu. Toh, setiap manusia adalah makhluk yang dikaruniai kebebasan untuk bersikap dan memaknai apa yang dihadapinya. Seseorang bisa bersikap kritis, bahkan sinis, melihat fakta yang ada, bisa pula bersikap kritis sekaligus optimistis dengan fakta yang sama pula.
Mustaqim, misalnya. Sais dokar di Lasem, Rembang, itu tidak merasa khawatir dengan kehadiran angkutan pedesaan, ojek, atau bus besar yang samasama melintas di jalan utama kota itu. "Semua memperoleh rezekinya. Semua tahu dan tidak saling berebut," kata Mustaqim.
Surutnya Pelabuhan Panarukan hanyalah contoh kecil dari banyak kisah pilu. Di Panarukan, setelah bentangan jarak sekitar 1.100 kilometer, melewati 43 kabupaten/kota di 5 provinsi di Jawa, sebuah renungan klasik kembali mencuat ke permukaan: perubahan memang menjadi kemestian.
Anjer-Panaroekan, jalan untuk perubahan. (Tim Ekspedisi kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved