Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Bang Kodir Berupaya Bangkit dari Lumpur

Format : Artikel

Impresum
Hendriyo Widi - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 26 Agustus 2008 | 03:00 WIB
http://www.kompas.com/lipsus082008/daendels_read/2008/08/26/01501981/bang.kodir.berupaya.bangkit.dari.lumpur

Isi:

Anda Masuk Wilayah Bang Kodir. Begitu bunyi tulisan di gapura masuk Kota Bangil, Kecamatan Bangil, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Bang Kodir merupakan ikon kota yang terletak di jalur emas Daendels antara Surabaya, Pasuruan, dan Malang, yang berarti "Bangil Kota Bordir".

Satu dekade pasca-Maarschalk en Gouverneur Generaal Herman Willem Daendels menyelesaikan Jalan Anyer-Panarukan, Bangil menjadi salah satu titik penghubung jalur emas perdagangan Surabaya, Malang, Pasuruan. Jalan itu merupakan jalur perdagangan kopi, gula tebu, dan ikan.

"...tempat itu (Bangil) bukan tempat terasing, bahkan salah satu pusat lalu lintas yang menghubungkan Surabaya di utara, Pasuruan di timur, dan Malang di selatan," tulis sastrawan Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.

Saat ini pun jalur itu tetap menjadi jalur emas perdagangan yang lebih komplet, antara lain kerajinan bordir, emas, dan perak. Para pengusaha besar hingga pengusaha kecil mempunyai kepentingan untuk mengakses jalur itu guna mengepulkan dapur perusahaan dan keluarga.

Bencana

Ikon "Bang Kodir" bergaung sejak 11 September 2005. Saat itu Bangil menjadi pusat perdagangan berbagai aksesori dan pakaian dengan motif bordir. Sebanyak 147 perajin bordir mampu menyerap ribuan tenaga kerja lokal.

Namun, belum genap setahun ikon itu berkumandang, bencana tak diundang datang. Ruas jalur emas Surabaya-Bangil terendam lumpur panas Lapindo Brantas, tepatnya di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo.

Kejadian itu mengakibatkan jalur distribusi utama Bang Kodir terputus. Hampir selama setengah tahun jalur itu dibenahi dengan membendung bagian timur jalan dan menyapu bersih lumpur yang menggenang. Sampai saat ini jalur itu pun masih dihantui jebolnya tanggul lumpur Lapindo.

Robby Hafid (47), pemilik Fidha Bordir di Bangil, Sabtu (23/8), mengatakan, waktu itu pendapatan perajin menurun antara 40 persen dan 70 persen per bulan. Pendapatan Fidha Bordir sendiri turun dari Rp 80 juta-Rp 100 juta menjadi hanya Rp 40 juta-Rp 60 juta per bulan.

"Sebelum lumpur Lapindo, para pembeli dari luar kota kerap mengunjungi tempat usaha saya. Setiap hari saya memperoleh Rp 2 juta-Rp 3 juta. Tetapi, dua tahun terakhir ini sepi pembeli," kata Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Bordir Bangil itu.

Pemilik Nizar Bordir Collection, Mochammad Syafiq Assegaf, mengatakan, jalur emas itu menjadi tumpuan para perajin bordir Bangil. Ketika jalur itu lumpuh, banyak pengusaha bordir gulung tikar lantaran tak mampu memasarkan produknya secara lebih luas. Total hanya 107 perajin bordir yang sanggup bertahan.

Kondisi itu mengakibatkan jumlah pengangguran di Bangil bertambah lantaran sejumlah pengusaha memutus hubungan kerja dengan puluhan karyawan. Padahal, para karyawan itu kebanyakan berasal dari ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak putus sekolah.

Siasat

"Saya tidak ingin 300 karyawan berhenti kerja. Untuk itu, saya berupaya jemput bola dengan mengirim barang lewat jalur lain atau udara untuk pengiriman luar Jawa, meski biayanya membengkak," kata Assegaf.

Berbeda dengan Robby, untuk mempertahankan usaha yang dirintis sejak 1994 itu, Assegaf terpaksa memberi pesangon kepada 25 karyawannya. Setelah lalu lintas jalur emas itu pulih, Assegaf berupaya mengejar dan mencari pembeli baru dengan mengikuti berbagai pameran dan promosi di luar kota.

Dahulu, dalam setahun sejumlah perajin hanya mengikuti pameran rata-rata empat kali, tetapi sekarang bisa sampai 12 kali. Sekali mengikuti pameran, mereka menghabiskan biaya Rp 8-14 juta. "Saat kondisi Fidha Bordir tak lagi terengah-engah, saya akan menjaring mereka kembali," kata Robby.

Sripon (42), buruh bordir Desa Kalirejo, Kecamatan Bangil, bersyukur tidak diberhentikan kerja. Lewat membordir, ibu rumah tangga itu mendapat upah rata-rata Rp 270.000 per bulan. Meskipun begitu, Sripon selalu waswas tanggul pembenteng lumpur jebol kembali. "Saya berharap lumpur panas segera tertangani sampai tuntas. Biar orang kecil tetap bisa mencari uang untuk makan, minum, dan menyekolahkan anak," kata Sripon.

"Bang Kodir" memang tak boleh tenggelam dalam lumpur.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved