Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2009
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 27 Februari 2009 | 01:53 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/01535966/politik.anggaran.yang.membedakan
Isi:
Sebuah wheel loader, alat berat pembuat jalan, menerobos perbatasan Indonesia-Malaysia di suatu pagi pada awal 1980-an. Wheel loader itu datang dari perbukitan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat. Datang untuk satu tujuan, melihat jalan yang dibangun Negara Bagian Sarawak, Malaysia.
Di ujung jalan itu, di Tebedu, Sarawak, beberapa kilometer ke utara dari batas negara, sang pengemudi, M Haidir, menghentikan wheel loader. Sensasi keterkejutan membuat Haidir dan rekan-rekan hanya dapat melongo. Ada pula yang terus menatap seolah tak percaya dengan pandangan matanya.
"Kami kaget, sangat kaget. Ternyata, jalan yang dibangun Malaysia lebih bagus dari jalan Tanjung-Entikong yang kami bangun," kata Haidir (53), pegawai Departemen Pekerjaan Umum (PU), yang kala itu menjabat supervisor alat berat.
Pada tahun 1980 memang ada kesepakatan membangun jalan lintas batas untuk menghubungkan dua negara. "Kami bekerja cepat. Lebih cepat dari orang Malaysia sehingga jalan yang kami bangun lebih dulu mencapai perbatasan daripada jalan mereka. Ternyata, biar lambat, jalan mereka lebih berkualitas," ujar Haidir.
Kita harus jujur, meski di pulau yang sama, jalan di empat provinsi di Kalimantan lebih buruk dari jalan di Sarawak-Sabah. Bila kita naik mobil dari ruas Tanjung-Entikong, melintas pos batas lalu melaju di ruas Tebedu-Serian-Kuching, pasti dengan mudah bisa membedakannya. Di Sarawak, kita seolah melaju di Tol Jagorawi. Jalannya memang sekelas tol di Indonesia, namun gratis.
Lalu, mengapa jalan di Sarawak lebih bagus? Haidir tak punya jawaban pasti. Tapi, dia tahu persis, setelah 30 tahun berlalu dari peristiwa di Tebedu, jalan di Sarawak dan Sabah kualitasnya makin baik dibanding jalan di Kalimantan karena jalan Tanjung-Entikong yang dibangunnya makin hancur.
Setelah menyusuri trans- Kalimantan, Tim Jelajah Kalimantan Kompas dan Departemen PU menapaki lagi jalur Haidir. Kami menembus batas menuju Kuching, mendatangi kantor Jawatan Pekerjaan Raya (JKR/setingkat Departemen PU) Negeri Sarawak. Kami ingin tahu mengapa jalan mereka lebih baik.
Konstruksi
Kantor JKR nebeng dengan bangunan tua pusat perbelanjaan Saberkas. Dengan kualitas jalan di Sarawak yang jempolan, kami terkejut dengan kesederhanaan kantor itu. Namun, kami lebih terkejut lagi saat menjumpai Wawan Gunawan dan Teguh Yuwono. Keduanya adalah insinyur Indonesia yang bekerja mendesain jalan di Sarawak sejak delapan tahun lalu.
Siapa sangka, otak di balik jalan di Sarawak adalah insinyur-insinyur lulusan universitas ternama di Bandung. Mereka direkrut bekerja di Sarawak delapan tahun lalu meski tetap sebagai warga negara Indonesia.
Meehan Jorai, Jurutera Awam (insinyur) Cawangan Jalan (Bina Marga) JKR bersemangat menjelaskan kemajuan konstruksi Sarawak seperti menaklukkan gambut dengan pille slab (konstruksi jalan layang). Atau, membangun jalan di rawa gambut, didahului penimbunan gambut menggunakan lapisan pasir yang tebal.
Tapi, pengetahuan teknis konstruksi yang Meehan Jorai jabarkan ternyata telah dikuasai dua Kasubdit Direktorat Bina Teknis, Bina Marga PU, yang menyertai jelajah Kompas. Singkatnya, tak ada teknologi baru di bidang jalan dari pertemuan hari itu.
Pengetahuan teknis yang dijabarkan JKR juga tak berbeda dengan diskusi-diskusi mengenai cara membangun dan merawat jalan yang sering kami perbincangkan di meja kerja Danis H Sumadilaga, Direktur Bina Teknik Bina Marga PU di Jakarta.
Asal tahu saja, sejak tiga tahun lalu, di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, PU telah membangun jembatan layang Tumbang Nusa (7 km) melintasi rawa gambut yang membentang antara Sungai Sebangau dan Kahayan. Jembatan itu serupa dengan jembatan layang Tol Sedyatmo yang dibangun PT Jasa Marga (Persero).
Di jalan Palangkaraya-Tangkiling, pada tahun 1960-an, para pegawai PU juga diajari insinyur Rusia untuk membuat jalan yang baik dan kokoh di kawasan gambut. Jalan itu, empat puluh tahun kemudian, tetap menjadi jalan terbaik di trans-Kalimantan.
Anggaran
Lantas, apa masalahnya? Apa yang menyebabkan jalan di Kalimantan hanya fungsional bagi kendaraan gandar ganda? Apa yang menyebabkan jalan di Kalimantan dalam persepsi orang Sarawak tak ubahnya jalan hutan? Jawabnya, sejak krisis ekonomi 1998 hingga 2005, jalan di Kalimantan tak diperhatikan sebab anggaran terbatas!
Kami terbengong-bengong saat mengetahui alokasi dana pemeliharaan jalan di Sarawak sebesar Rp 102 juta per kilometer per tahun, atau lima kali lipat dari dana pemeliharaan jalan di Indonesia.
Alokasi dana jalan di Kalimantan juga jauh di bawah kebutuhan. Untuk membangun jalan di empat provinsi di Kalimantan sebenarnya dibutuhkan Rp 8,12 triliun, tapi di tahun anggaran 2009 ini hanya dapat disediakan Rp 2,19 triliun.
Ambil contoh, di Kaltim ada ruas jalan Sangatta-Simpang Perdau (32 km) yang berkondisi rusak berat. Di ruas itu, terdapat 10 lokasi longsoran besar dan 20 lokasi longsoran kecil. Lebar jalan hanya 4,5 meter, namun karena kendaraan pelintas sudah ratusan per hari, layaklah bila jalan itu diperlebar menjadi 7 meter.
Namun, keterbatasan anggaran menyebabkan ruas itu hanya mendapat Rp 6 miliar pada tahun anggaran 2009 ini meski kebutuhannya Rp 100,64 miliar. Kekurangan dana Rp 93,36 miliar tentu saja membuat perbaikan sia-sia. Belum selesai satu titik longsoran dibenahi, sudah muncul longsoran di titik lain.
Dengan demikian, yang dibicarakan bukan lagi konstruksi terbaik apa yang harus digunakan, tetapi optimalisasi anggaran agar jalan nasional di Kalimantan sekadar dapat dilewati. Sebab, bila jalan nasional dapat fungsional diharapkan tujuannya agar perekonomian terbangun tercapai.
Dari dalam hatinya, Direktur Jenderal Bina Marga PU Hermanto Dardak sebenarnya menginginkan seluruh jalan beraspal mulus. Tetapi apa daya, dana terbatas. "Sehingga target minimalnya, seluruh jalan di Kalimantan terhubungkan dan mudah dilintasi," kata Hermanto.
Nantinya, saat lalu lintas ekonomi meningkat barulah jalan ditingkatkan. Dari jalan tanah menjadi jalan agregat, lalu jadi jalan aspal. Dari jalan 4,5 meter, menjadi 6 meter, lalu 7 meter.
Kalimantan memang hanya bagian dari Indonesia. Tak heran, pembangunan jalan Kalimantan terkait pembangunan jalan di daerah lain. Telah ada pula prioritas pembangunan jalan, khususnya untuk jalan lintas dengan jumlah kendaraan di atas puluhan ribu kendaraan per jam.
Pemerhati transportasi, Rudy Thehamihardja, mengatakan, pemerintah berkewajiban mengucurkan dana lebih besar untuk pembangunan jalan. "Sebenarnya bukan hanya jalan, tetapi antara lain juga listrik dan air. Sebab, itu merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakan infrastruktur dasar bagi warganya," ujar Rudy.
Dirjen Bina Marga mempunyai usulan lain berupa pengumpulan dana khusus pemeliharaan jalan atau road fund. Sebab, bila mengandalkan anggaran yang dialokasikan Departemen Keuangan, kata Hermanto, selalu ada kekurangan. (RYO/AIK/CAS/WHY/ BRO/FUL)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved