Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Ekowisata : Belajar pada Muara Sebung

Format : Artikel

Impresum
Andy Riza Hidayat - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Selasa, 31 Maret 2009 | 15:07 WIB
http://travel.kompas.com/read/xml/2009/03/31/1507531/Belajar.pada.Muara.Sebung

Isi:

KOMPAS.com — Pada belantara yang terjaga, di muara Sungai Sebung, kami menimba pelajaran berharga. Di tempat ini kami menikmati indahnya persahabatan antara manusia dan alam. Sesampai di kawasan ini akhir Februari lalu, puputan angin segar Laut China Selatan menyapa wajah kami. Angin itu terus bergerak di sela-sela pelepah nipah, ranting-ranting bakau, dun menyapa ular yang bertengger di dahannya.

Dari sebuah dermaga kayu di ujung muara, bentangan hutan bakau menatap kami. Kesegaran alamnya sudah dikenal dunia internasional. Turis mancanegara kerap mengunjungi tempat ini sebagai bagian dari paket wisata di Bintan Resort, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Bukan hanya kesegaran alamnya, para turis juga berwisata menyusuri jejak kehidupan manusia laut yang pernah menjaga kehormatan pulau ini. Paket wisata alam ini sarat dengan pesan edukatif bagi siapa saja yang mengunjunginya.

Petualangan di rimba pesisir kami lakukan dengan perahu motor berkapasitas delapan orang. Perahu sengaja berjalan lambat karena ada banyak hal yang ingin dijelaskan oleh pemandu. Aliyadi (24), pemandu kami, sesekali memakai bahasa Inggris karena terbiasa membawa turis asing. Tanpa menunggu pertanyaan, dia ceritakan kondisi bakau sekarang ini.

Sejak dibuka sebagai tujuan wisata pada Februari 2002, di kawasan ini terjadi perubahan hidup nelayan, dari mengeksploitasi alam menjadi pelestari alam. Nelayan tidak lagi membakar kayu bakau menjadi arang. Sebelumnya, kawasan ini merupakan penghasil arang bakau, baik yang dijual ke Singapura maupun Malaysia. Jejak kebiasaan ini masih tersisa berupa tungku pembakaran setinggi lima meter berbentuk kerucut di pinggir Sungai Sebung.

Bernilai jual
Tungku pembakaran kayu bakau tidak dihancurkan oleh masyarakat. Bahkan, sisa pembakaran kayu bakau yang menjadi arang juga berserak di sekitar tungku. Kondisi ini memudahkan Aliyadi menjelaskan tempat ini lengkap beserta contohnya. Contoh memang tidak selalu dari hal baik. Contoh perilaku buruk lain terdapat pada onggokan kapal para pembalak kayu di tepi sungai.

Perjalanan selanjutnya kami berlanjut pada sebuah lorong bakau yang rimbun. Di sepanjang lorong ini terdapat sejumlah rumah nelayan bersama alat tangkap ikan tradisional berapa bubu dun linjap. Tidak hanya bakau, di sekitar tempat ini hidup pepohonan nipah (Nypa frusticans), pandan liar, rumah lobster, aneka ular, dun biota air payau, seperti lokan. Soal cerita di baik setiap benda tadi, jangan ditanya, orang Melayu jagonya Dan, semua hal yang biasa-biasa saja menjadi berbeda karena dijelaskan pemandu dengan menarik. Sebagian para turis merespons dengan manggut-manggut lalu mengatakan "Ooo, begitu.... "
Aliyadi sepertinya tahu betul isi perut hutan bakau Sebung.

Sebanyak 12 jenis bakau hidup di kawasan 20 hektar ini. Ada empat jenis yang dominan, yaitu Avicennia sp, Rhizopora sp, Bruguira sp, Xylocarpus sp. Kehidupan bakau yang asri ini menyebarkan aroma hawa segar khas tropic. Orang Jakarta yang berada satu rombongan dengan kami, Rut Hana Simatupang sengaja menghela napas dalamdalam. "Hmmm... segar, saya belum menemukan di Jakarta kesegaran seperti ini," katanya.

Paket ekowisata ini lebih dikenal turis asing lantaran sebagian besar pengunjung Bintan Resort berasal dari mancanegara Pengelola menyediakan lima paket wisata alam di sekitar mangrove. Paket wisata itu antara lain adalah tur mengelilingi hutan mangrove, memancing di sekitar hutan mangrove, mengunjungi dun belajar sebagaimana nelayan tradisional mencari ikan, dan menyelam di pantai dengan sajian biota laut yang indah. Untuk setiap paket ekowisata, pengelola memasang banderol mulai dari 20 sampai 250 dollar Singapura per item per orang.

Tingkat kunjungan tempat ini meningkat antara bulan Mei dun Desember setiap tahun dengan jumlah pengunjung rata-rata 700 orang. Adapun pada bulan Januari sampai April tingkat kunjungan sekitar 400 orang Dari kunjungan ini pengelola ekowisata mendapat penghasilan kotor rata-rata Rp 80 juta per bulan. Uang ini, selain untuk menggaji 20 pegawai, juga disisihkan sebagian untuk tabungan yayasan.

Ruslan Mustafa (40), yang juga nelayan Desa Sebung Lagoi, dipercaya sebagaipelaksana tugas Ketua Yayasan Eko Wisata Pekerjaannya sebagai nelayan tetap dilakukan sambil memimpin pengelolaan ekowisata. Dengan cara ini, pendapatan keluarganya meningkat. Warga setempat juga menikmati manisnya wisata ini dengan menyewakan perahu motor kepada pengunjung. Bagi mereka yang bertahan hidup sebagai nelayan, bisa mendapatkan ikan dun biota pesisir lebih banyak. Melestarikan hutan bakau berartijuga menghidupi para nelayan.

Pengelolaan
Sebagian besar warga setempat terlibat dalam pengelolaan sebagai pemandu wisata. Pengelolaan kawasan ini berada dalam sebuah lembaga bersama Yayasan Eko Wisata (YEW) yang dibentuk bersama Pemerintah Kabupaten Bintan, Bintan Resort, dan warga setempat.

Ada setidaknya 20 orang yang terlibat dalam pengelolaan ini yang umumnya orang setempat. Koordinator pengelola dipilih secara musyawarah oleh warga dan semua pihak yang terlibat di dalamnya. Bagi warga setempat, mengelola paket wisata ini bukanlah pekerjaan sulit. Sejak lahir mereka hidup berdampingan di pesisir pantai.

Sudah bertahan-tahun pengelola bekerja lama dengan sejumlah sekolah di Singapura. Para siswa sekolah negeri tetangga itu kerap menanam bakau di Sebung sebagai kegiatan sosial. Ruslan mengatakan, ke depan dia berencana mengembangkan paket wisata ini sampai ke kampung nelayan. Perkampungan nelayan terpusat sekitar satu kilometer dari lokasi hutan mangrove.

Pengelolaan yang baik ini berbuah pada penghargaan Gold Awards dari Pasific Asia Travel Association (PATA) pada 14 April 2003. PATA menilai pengelola tidak hanya menyajikan wisata alam semata, melainkan juga mampu memberikan pengetahuan alam melalui biota yang hidup di hutan.

Pesisir Sungai Sebung hanyalah sabuk pendek dari seluruh pantai di Pulau Bintan. Begitu banyak pesisir yang belum dikelola dengan baik. Semestinya paket wisata seperti ini juga bisa dikembangkan di banyak daerah di Indonesia. Pengembangan ekowisata seperti ini sangat berpotensi mengingat Pulau Bintan hanyalah satu dari sekitar 17.500 pulau di Nusantara.

Di muara Sungai Sebung sebuah pelajaran berharga ditunjukkan alam dan manusia. Mengakrabi alam ternyata juga menguntungkan. Sebaliknya, memusuhi alam malah menjadikan kita bersahabat dengan bencana.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved