Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Analisis Danareksa : Pariwisata Nasional Masih Elok

Format : Artikel

Impresum
Handri Thiono - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Senin, 8 Juni 2009 | 04:02 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/06/08/04024254/Pariwisata.Nasional.Masih.Elok.

Isi:

Melemahnya daya beli konsumen akibat krisis keuangan global berpotensi menekan jumlah kunjungan wisatawan. Kondisi ini mendorong kekhawatiran melemahnya bisnis pariwisata nasional.

Industri pariwisata erat kaitannya dengan bisnis perhotelan dan restoran. Pertumbuhan kedua sektor itu melambat sejak 2008. Pertumbuhan sektor perhotelan dari 5,4 persen pada 2007 menjadi 4,1 persen pada 2008. Adapun pertumbuhan sektor restoran dari 7,1 persen menjadi 6,6 persen.

Di sisi lain, indeks daya saing pariwisata yang diterbitkan dalam "The Travel and Tourism Competitiveness Report 2009" menempatkan pariwisata Indonesia di peringkat 81, tahun 2008 di posisi 80.

Indeks itu disusun berdasarkan kelompok indikator rerangka hukum, kondisi lingkungan bisnis dan infrastruktur, sumber daya manusia, budaya, dan sumber daya alam.

Daya saing pariwisata Indonesia di bawah Singapura atau Malaysia, yang masing-masing di peringkat 10 dan 32.

Kinerja sektor pariwisata Indonesia sebenarnya masih menggembirakan. Data menunjukkan, jumlah turis asing yang datang ke Indonesia tahun 2008 mencapai 5,2 juta orang, atau naik 19,8 persen dibandingkan dengan 2007.

Sektor pariwisata jadi andalan ekonomi Indonesia. Devisa dari pariwisata tahun 2008 mencapai 7,3 miliar dollar AS, sedangkan tahun 2007 sebesar 5,3 miliar dollar AS. Pariwisata pendulang devisa terbesar setelah ekspor migas.

Sebagian besar wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia berasal dari kawasan Asia, seperti Singapura, Malaysia, Jepang, dan Korea, dengan jumlah yang umumnya terus bertumbuh.

Namun, krisis ekonomi global mulai memicu kekhawatiran akan pertumbuhan sektor pariwisata Indonesia. Pelemahan daya beli masyarakat suatu negara akan mendorong mereka menunda atau membatalkan rencana berwisata keluar negeri, termasuk ke Indonesia.

Pengaruhnya mulai terlihat. Pertumbuhan kunjungan turis mancanegara ke Indonesia turun, dari 23,7 persen (Januari-Maret 2008), menjadi minus 0,54 persen (Januari-Maret 2009). Namun, dibandingkan negara tetangga, pertumbuhan kunjungan turis asing ke Indonesia masih lebih baik.

Pertumbuhan kunjungan wisatawan asing ke Singapura turun dari 6,8 persen (Januari-Maret 2008) kini minus 13,7 persen (Januari-Maret 2009). Kunjungan wisatawan ke Thailand, yang sempat tumbuh 14,8 persen, kini minus 15,4 persen, dan Vietnam dari 15,1 persen menjadi minus 20,1 persen.

Tingkat hunian kamar hotel di Indonesia juga masih baik, dari 54,8 persen (2007) menjadi 63,8 persen (2008). Sementara itu, tingkat hunian hotel di Singapura anjlok, dari 87 persen menjadi 81,1 persen. Di Thailand pun turun, dari 60,8 persen menjadi 56,3 persen. Dan di Filipina dari 73,1 persen menjadi 70,7 persen.

Bertahannya bisnis pariwisata Indonesia tidak lepas dari tingginya daya saing dalam harga. "The Travel and Tourism Competitiveness Report 2009" menempatkan pariwisata Indonesia di posisi tiga besar, setelah Mesir dan Brunei Darussalam, dalam daya saing harga.

Indonesia dianggap memiliki karakteristik tarif pajak dan hotel yang kompetitif serta harga bahan bakar minyak lebih murah. Selain harga yang kompetitif, perkembangan investasi akomodasi dan infrastruktur pariwisata cukup mengesankan.

Realisasi investasi domestik di sektor hotel dan restoran tahun 2008 mencapai 238,6 miliar rupiah, atau tumbuh 87 persen. Adapun realisasi investasi luar negeri 156,9 juta dolar, atau tumbuh 15 persen.

Di sisi lain, jumlah ketersediaan akomodasi hotel meningkat, dari 11.461 unit (2006) menjadi 14.310 unit pada tahun 2007 (tumbuh 24,8 persen). Jumlah unit kamar hotel pun meningkat, dari 285.530 unit menjadi 361.358 unit, dengan kenaikan pertumbuhan dari 1,8 persen (2006), menjadi 26,6 persen pada 2007.

Naiknya realisasi investasi sektor pariwisata menggambarkan keyakinan pelaku usaha dan investor terhadap iklim industri pariwisata nasional.

Optimisme ini tergambar dalam Business Sentiment Index (BSI) Danareksa Research Institute (DRI), yaitu indeks yang disusun berdasarkan survei terhadap chief executive officer (CEO). Ini menggambarkan keyakinan pebisnis terhadap perkembangan kondisi ekonomi, industri, dan perusahaan.

Nilai BSI di atas 100 menunjukkan, lebih banyak CEO yang optimistis pada kondisi industri dan perekonomian dibandingkan dengan yang pesimistis. Angka di bawah 100 menunjukkan lebih banyak yang pesimistis dibandingkan dengan yang optimistis.

Seiring pelambatan perekonomian nasional, BSI pebisnis sektor hotel dan restoran memperlihatkan tren menurun sepanjang 2008. Namun dalam dua survei terakhir, BSI kembali meningkat. Kenaikan ini dipicu optimisme CEO terhadap pemulihan ekonomi dan industri, lebih cepat dari perkiraan. Suhu politik yang stabil, pelaksanaan pemilu yang tertib dan lancar dinilai berdampak positif bagi iklim usaha pariwisata.

Salah satu komponen BSI adalah Present Situation Index (PSI), yang menggambarkan penilaian CEO terhadap kondisi ekonomi saat ini. Pada Maret 2009, PSI turun, dari 106,5 menjadi 106,1 (turun 0,3 persen). CEO usaha pariwisata berpendapat kondisi politik yang stabil belum cukup mampu memulihkan kondisi ekonomi.

Komponen BSI lain adalah Expectation Index (EI), yang menunjukkan persepsi CEO terhadap kondisi ekonomi dan bisnis mereka enam bulan mendatang. Meskipun optimisme terhadap kondisi bisnis saat ini menurun, ekspektasi CEO terhadap kondisi masa depan justru membaik.

Naiknya optimisme ini tecermin pada kenaikan EI dari 120,4 menjadi 131,1. CEO bisnis pariwisata menilai pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari yang diprediksi semula akan memicu perbaikan prospek bisnis mereka.

Krisis ekonomi global memang menekan perekonomian dan bisnis, termasuk pariwisata. Namun, bukan berarti industri pariwisata nasional terancam meredup. Banyak keunggulan yang membuat sektor ini terus bertahan, seperti naiknya investasi, kondusifnya iklim politik, serta harga yang kompetitif.

Selain itu, harapan akan pulihnya keadaan ekonomi dalam waktu dekat mendongkrak optimisme para pengusaha. Optimisme ini menjadi energi pendorong bagi pengusaha makin berani berekspansi. Artinya, industri pariwisata nasional berpeluang tumbuh lebih besar lagi.

Namun, usaha lebih keras mutlak diperlukan agar pamor pariwisata nasional meningkat. Peningkatan fasilitas dan infrastruktur publik, implementasi kebijakan hukum yang konsisten, terjaganya iklim sosial dan politik yang kondusif akan mendorong kemajuan pariwisata Indonesia. Selain, kerja sama dan dukungan berbagai pihak, agar pariwisata nasional semakin elok.

Handri Thiono Ekonom Danareksa Research Institute

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved