Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Infrastruktur Transportasi : Intermoda, Kunci untuk Kalimantan

Format : Artikel

Impresum
- : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 27 Februari 2009 | 01:52 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/27/01525360/intermoda.kunci.untuk.kalimantan

Isi:

"Membangun infrastruktur itu mahal, baik itu kereta api maupun jalan," kata Makbul Sumadilaga, konsultan angkutan batu bara, di Jakarta pada suatu siang di pengujung 2008.

Mahal, tetapi tetap harus dibangun. Kala itu Makbul meratapi kepergian investor asal Korea Selatan yang tadinya akan membangun jalur kereta api (KA) di Kalimantan Timur.

Para investor itu pergi dengan alasan krisis keuangan global. Mereka mengatakan akan memperkuat modal di negara asal sehingga untuk sementara harus meninggalkan Indonesia. Namun, sebenarnya mereka tak sungguh-sungguh pergi.

Setengah berbisik Makbul mengatakan, calon investor KA menilai, saat ini lebih untung membeli saham perusahaan tambang Indonesia yang harganya anjlok daripada membangun infrastruktur pendukung tambang yang belum tentu menguntungkan.

Menjadi rahasia umum, pembangunan infrastruktur di Indonesia berisiko tinggi. Persoalan terpelik adalah pembebasan lahan. Sebuah jembatan rangka baja di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat, yang tak bisa digunakan walaupun sudah selesai dibangun sejak dua tahun lalu, misalnya, menjadi saksi bisu "perlawanan" empat pemilik warung di ujung jembatan yang menolak direlokasi.

Ketika biaya investasi mahal dan berisiko tinggi, belum lagi ada keterbatasan anggaran, tiada jalan lain kecuali harus ada perencanaan prioritas pembangunan infrastruktur. Harus dipilih infrastruktur apa yang harus dibangun, moda transportasi apa yang harus digunakan, hingga konektivitas atau intermoda macam apa dari berbagai moda transportasi.

Angkutan kereta api

Di Kalimantan, jarak antarpermukiman panjang dan kosong, menyebabkan transportasi jalan sebenarnya tidak efisien dibandingkan biaya pembangunan dan perawatannya. Pakar transportasi dari Unika Soegijapranata, Semarang, Joko Setijowarno, mengatakan, di Kalimantan, KA bisa menjadi harapan terbaik, khususnya untuk angkutan barang. KA lebih hemat BBM, berkapasitas angkut lebih besar, dan biaya perawatan yang rendah.

Di tengah polemik tentang dominasi angkutan batu bara dan angkutan minyak kelapa sawit (CPO) yang membebani dan memperpendek usia jalan trans-Kalimantan, KA juga bisa menjadi solusi. Di samping itu, KA juga dipandang sangat minim mengubah ruang karena jaringannya yang tertutup sehingga ekspansi terhadap ruang hanya terjadi di kota atau desa di mana ada stasiun.

KA memang belum dikembangkan. Jangankan di Kalimantan, di tingkat nasional porsi pengangkutan barang oleh KA masih 0,63 persen (17,42 juta ton), jauh di bawah angka pengangkutan barang lewat jalan sebesar 91,25 persen (2,51 miliar ton). Bandingkan dengan India, di mana pergerakan 40 persen barangnya menggunakan KA.

Untuk mendorong terbangunnya KA di Kalimantan, Direktoral Jenderal KA merencanakan beberapa jalur, di antaranya Longbawan-Tanjung Selor-Batu Putih (Kaltim, 354 km), Batu Putih-Tanjung Bara (Kaltim, 149 km), Balikpapan-Puruk Cahu (Kaltim-Kalteng, 350 km), Balikpapan-Tanjung Batu (Kaltim, 218 km), Tanjung Selatan-Buntok (Kalsel-Kalteng, 239 km), dan Kota Baru-Tanjung Lolak (Kalsel, 151 km).

Namun, rencana itu masih tergeletak di atas meja. Pemerintah masih sepenuhnya menggantungkan pembangunannya pada investor dan belum mau mengucurkan dana untuk membangunnya.

Jalur KA itu akan menghubungkan lokasi-lokasi tambang batu bara, karena itulah komoditas terpotensial yang dapat diangkut. Tentu saja, dalam perkembangannya, KA batu bara dapat disambung rangkaian gerbong barang komoditas lainnya, bahkan kereta penumpang.

Meski demikian, karena nilai investasinya tinggi, yakni sekitar Rp 40 miliar per km (dibandingkan pembukaan jalan sekitar Rp 7 miliar per km dan Rp 20 miliar per km untuk jalan layang), dikatakan Makbul, hanya dengan bantuan pemerintah maka investasi angkutan KA batu bara dapat berhasil. "Minimal, pemerintah membantu membebaskan lahan. Idealnya bisa membantu pembangunan jalur kereta juga," ujarnya.

Tantangan itu telah dijawab Gubernur Kalteng Agustin Teras Narang. Untuk membantu investor, Pemprov Kalteng segera membebaskan lahan untuk mempermudah investor dari Jepang, Itochu Corporation, membangun jalur KA di sana. Pemprov Kalteng juga akan melarang angkutan batu bara melalui jalan raya, khususnya trans-Kalimantan, untuk "mengawal" pengembalian modal bagi investor KA.

Namun, rencana Kalteng membangun jalur KA patut dikritik. Pasalnya, jalur KA ini berawal dari Puruk Cahu ke Bangkuang (185 km), tak seperti hasil kajian Ditjen KA dari Puruk Cahu memasuki Kalimantan Timur menuju Balikpapan (350 km).

Jalur KA itu patut dikritik karena akan menyebabkan penanganan berganda. Sebab, batu bara harus diangkut KA dari Puruk Cahu ke Bangkuang, lalu dibongkar di pelabuhan Sungai Bangkuang. Kemudian, dihilirkan dengan tongkang melalui Sungai Kapuas Murung dan Sungai Kapuas menuju Pelabuhan Laut Batanjung. Lalu, dipindahkan lagi ke kapal batu bara menuju Jawa, Korea, dan Jepang.

Teras Narang beralasan, pengiriman batu bara lewat Pelabuhan Batanjung untuk mengoptimalkan garis pantai Kalteng (750 km). Apalagi, kini Kalteng terus membangun pelabuhan itu dan melobi pemerintah pusat untuk membangun jalan dari Basarang di Kuala Kapuas menuju Pelabuhan Batanjung sepanjang 65 km.

Padahal, bukankah jalur KA Puruk Cahu-Balikpapan lebih menguntungkan dibanding Puruk Cahu-Bangkuang. Sebab, jelas-jelas melewati banyak tambang batu bara, mulai dari tambang di Muara Tuhup, Dilang Puti, hingga Kota Bangun.

Patut diingatkan kembali bahwa pembangunan infrastruktur sangat mahal. Mestinya tiada lagi ruang bagi ego daerah. Pemerintah pusat layak menjadi dirigen agar pembangunan infrastruktur seirama dan tersistem antardaerah karena sudah berulang kali pembangunan infrastruktur di negeri ini saling memangsa.

Matinya angkutan sungai

Contoh terkonkret adalah pembukaan jalan di Kalimantan yang menyingkirkan angkutan sungai karena kegiatan penumpang dan barang beralih ke darat. Di rute Banjarmasin-Palangkaraya, misalnya, trans-Kalimantan mematikan angkutan kapal.

Maka, ketika ruas jalan itu terputus karena banjir di ujung jembatan layang Tumbang Nusa di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, pasokan barang kebutuhan pokok menjadi terhambat lalu memicu lonjakan inflasi. Itu tak perlu terjadi bila angkutan sungai tetap hidup.

Di Muara Wahau, Kutai Timur, Kaltim, kematian angkutan sungai juga mulai terasa akibat dibangun jalan dari Samarinda ke Muara Wahau. "Kini hanya ada satu kapal ke Muara Wahau, dua kali seminggu," kata Mirin, Kepala Dermaga Mahakam Ulu. Dulu, sebelum jalan itu dibangun, tiap hari dua kapal berlayar dari Samarinda.

Tak hanya dilibas jalan, angkutan sungai juga dilemahkan dengan penyusutan debit air sungai akibat rusaknya ekologi di hulu sungai. Saat kemarau, surutnya air sungai mengandaskan perahu, sebaliknya menyulitkan pengendalian perahu ketika hujan lebat.

Kondisi tersebut sangat menyulitkan pengembangan intermoda transportasi di Kalimantan. Padahal Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pernah mengingatkan pentingnya sungai, khususnya di Kalteng.

"Trans-Kalimantan yang dibangun merupakan poros timur-barat, maka seyogianya sebagai penghubung hulu dan hilir harus memanfaatkan sungai sehingga kita tak perlu memaksakan diri membangun jalan darat penghubung," ujarnya. (RYO/AIK/CAS/BRO/WHY/FUL)

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved