Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Buah dari Kesalahan Konsep

Format : Artikel

Impresum
Caesar Alexey - : , 2008

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Jum\'at, 6 Juni 2008 | 01:01 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/06/0101146/buah.dari.kesalahan.konsep

Isi:

Kenaikan harga bahan bakar minyak saat ini membuat banyak warga Jakarta bingung. Beban biaya transportasi membengkak, bukan hanya karena harganya yang mahal, tetapi juga karena kemacetan yang merajalela.

Kemacetan di Jakarta bukan merupakan dampak dari kesalahan dua sampai tiga tahun lalu. Kemacetan ini merupakan dampak kesalahan yang terjadi sejak 48 tahun lalu.

Pakar transportasi Universitas Trisakti, F Trisbiantara, mengatakan, pada zaman Belanda sampai awal 1960-an, angkutan umum di Jakarta masih didominasi trem. Angkutan umum berbasis rel itu dapat mengangkut orang dalam jumlah besar. Frekuensi trem juga rutin sehingga penggunaan kendara- an pribadi tidak terlalu diperlukan.

Namun, trem dihilangkan secara perlahan sehingga masyarakat kehilangan angkutan massal yang nyaman dan cepat. Di sisi lain, Jakarta mulai mengalami perkembangan cepat pada akhir 1960 dan awal 1970, pada masa Orde Baru.

Ekonomi Indonesia yang terus berkembang saat itu dan berpusat di Jakarta membuat berbagai aktivitas di Ibu Kota berkembang pesat. Jakarta juga menarik puluhan sampai ratusan ribu orang untuk datang dari berbagai daerah setiap hari.

Mantan Gubernur Ali Sadikin yang menyadari kondisi tersebut melakukan upaya dengan memperketat pengendalian tata ruang. Pada masa pemerintahannya, Jakarta mulai menyusun rencana induk tata ruang kota. Rencana pola transportasi juga disusun mengikuti rencana tata ruang itu.

Pengamat perencanaan kota, Yayat Supriatna, mengatakan, tata ruang dan pola jalur jalan Jakarta saat itu diarahkan untuk berkembang dari timur ke barat. Akan tetapi, intervensi pemerintah pusat membuat Jakarta juga dipaksa berkembang dari utara ke selatan. Akibatnya, pola jaringan jalan berkembang ke semua wilayah Jakarta tanpa terkendali.

Pada saat bersamaan, ekonomi yang terus membaik membuat banyak masyarakat mulai membeli mobil atau sepeda motor. Budaya gengsi dengan memiliki mobil mulai tumbuh di hati masyarakat Jakarta. Pertumbuhan jumlah kendaraan mulai tidak terkendali.

Bang Ali, panggilan akrab Ali Sadikin, mencoba mengatasi hal itu dengan meremajakan sebagian besar angkutan umum dengan bus kota milik Perusahaan Pengangkutan Djakarta (PPD). Langkah ini diambil Bang Ali agar masyarakat memiliki alternatif transportasi, selain kendaraan pribadi.

Masalahnya, kata Yayat, gubernur-gubernur setelah Bang Ali tidak mengendalikan tata ruang secara ketat. Akibatnya, aktivitas komersial terus tumbuh pesat dan membangkitkan pergerakan lalu lintas dengan kendaraan pribadi yang besar.

Di sisi lain, pertambahan kapasitas jalan, baik dengan pelebaran maupun pembuatan jalan baru, berjalan lamban. Sampai akhir 2007, Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, pertumbuhan kendaraan pribadi mencapai 11 persen per tahun. Di sisi lain, pertumbuhan jalan sangat minim, yakni hanya 0,01 persen per tahun.

Sebagai gambaran, pada awal 2008, jumlah mobil baru bertambah 269 unit per hari. Pertambahan jumlah sepeda motor 1.235 unit per hari. Pemerintah, kata Yayat, sebenarnya sudah mempersiapkan angkutan massal untuk mengantisipasi kondisi ini. Sejak 1974 sampai sekarang, sudah ada 12 studi angkutan massal berbasis rel yang dilakukan di Jakarta.

Namun, hasil studi itu tidak ada yang terealisasi karena angkutan berbasis rel dikuasai pemerintah pusat. Pemprov DKI Jakarta kesulitan membangun angkutan massal karena masalah kewenangan dan ketiadaan dana.

Dampaknya, angkutan umum yang berkembang adalah angkutan jalan raya yang berbasis bus dan mobil. Angkutan umum itu banyak dimiliki oleh perseorangan dan kelompok usaha swasta.

Tidak sehat

Trisbiantara mengatakan, bisnis angkutan umum menjadi tidak sehat karena tarifnya ditentukan oleh pemerintah dan tidak diserahkan pada mekanisme swasta. Tarif yang ditetapkan selalu di bawah nilai ekonomis untuk usaha angkutan. Namun, pemerintah tidak mau memberi subsidi karena angkutan umum dikuasai swasta.

Kondisi itu menyebabkan pengusaha angkutan sulit meremajakan armada mereka. Dampaknya, pelayanan menurun dan penumpang yang dikorbankan. Selain itu, keamanan penumpang di dalam angkutan umum juga rendah.

Segala ketidaknyamanan itu membuat warga kembali berpaling ke kendaraan pribadi. Jumlah mobil pribadi mencapai lebih dari dua juta unit dan jumlah sepeda motor pribadi lebih dari tiga juta unit pada awal 2008. Sedangkan, jumlah kendaraan umum sekitar 41.000 unit.

Pertambahan jumlah kendaraan pribadi tidak dapat dikendalikan karena masyarakat tidak memiliki pilihan yang nyaman. Kemacetan tidak dapat dihindarkan dan Jakarta bakal macet total pada 2014 atau lebih cepat.

Wakil Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono mengatakan, peringatan macet total disikapi Pemprov DKI dengan menyusun pola transportasi makro (PTM). PTM dilakukan dengan menyediakan angkutan massal, pembatasan kendaraan, dan penambahan kapasitas jalan.

Angkutan massal yang sudah disediakan adalah bus rapid transit (BRT) atau yang dikenal dengan bus transjakarta. Sedangkan yang sedang disiapkan adalah monorel dan mass rapid transit (MRT). Jika semua berhasil direalisasikan, angkutan massal itu diharapkan dapat mengangkut sampai satu juta orang per hari.

Yayat dan Trisbiantara mengatakan, bus transjakarta yang ada saat ini harus dioptimalkan dengan memperbaiki pelayan-an dan menambah jumlah armada sampai tingkat ideal. Angkutan massal cepat yang nyaman dan dapat diandalkan akan mengubah cara pikir warga, dari menggunakan kendaraan pribadi ke angkutan massal.

Sementara itu, kata Pristono, pembatasan kendaraan dengan sistem three in one, electronic road pricing, dan pembatasan parkir sudah dan akan diterapkan secara perlahan. Penerapan pembatasan kendaraan itu akan mulai dilakukan di kawasan yang sudah dilalui bus transjakarta.

Trisbiantara mengatakan, angkutan massal merupakan solusi untuk mengatasi kemacetan dan pemborosan bahan bakar di Jakarta. Pengendalian penggunaan kendaraan pribadi hanya dapat dilakukan jika masyarakat memiliki alternatif angkutan yang nyaman, cepat, dan dapat diandalkan.

"Pemerintah perlu konsisten mengembangkan satu angkutan massal sampai tingkat ideal, sebelum mengembangkan moda angkutan yang lain. Hanya angkutan massal yang ideal yang dapat meyakinkan warga meninggalkan kendaraan pribadi," kata Trisbiantara.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved