Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library

Artikel Detail

Proteksi Properti : Mendorong Asuransi Gempa Melalui KPR

Format : Artikel

Impresum
M Fajar Marta - : , 2009

Deskripsi
Sumber:
Kompas: Kamis, 22 Oktober 2009 | 04:53 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/10/22/0453205/mendorong.asuransi.gempa.melalui.kpr

Isi:

Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia terus diharu biru oleh berbagai bencana alam, terutama gempa bumi yang menewaskan ribuan orang dan menghancurkan puluhan ribu rumah. Memang sudah takdir masyarakat Indonesia hidup di daerah yang rawan bencana.

Namun, bukan berarti juga masyarakat pasrah menerima segala kerugian yang muncul akibat bencana tersebut. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk meminimalisasi kerugian akibat bencana adalah dengan mengasuransikan properti.

Wilayah Indonesia diketahui sebagai daerah rawan bencana karena terletak pada pertemuan tiga lempeng besar bumi, yakni Pasifik, Eurasia, dan Samudra India-Australia, yang berpotensi mendatangkan berbagai bencana, seperti gempa, tsunami, erupsi vulkanik, dan tanah longsor.

Dengan situasi demikian, tidak ada satu negara pun di dunia yang memiliki fitur ancaman risiko gempa selengkap Indonesia. Dalam dekade terakhir, sekitar 20 persen gempa besar di dunia terjadi di wilayah Indonesia. Frekuensi gempa besar di Indonesia memang meningkat secara luar biasa.

Frans Y Sahusilawane, Direktur Utama Asuransi Maipark, asuransi khusus gempa bumi, mengatakan, bila dalam tahun- tahun sebelumnya gempa besar di atas 5 skala Richter terjadi 25-50 kali setahun, dalam dekade terakhir kejadiannya meningkat menjadi 80-160 kali setahun.

Khusus wilayah Sumatera, berdasarkan pengamatan Maipark, frekuensi dan magnitudo gempa memperlihatkan tren yang mengkhawatirkan. Bila dalam 38 tahun, sejak awal tahun 1960-an, hanya tiga gempa berskala 7 skala Richter atau lebih (rata-rata 13 tahun sekali), maka dalam dekade terakhir tercatat enam gempa berskala 7 skala Richter atau lebih (rata-rata 1,5 tahun sekali). Beberapa dari gempa ini bahkan mencapai magnitudo di atas 8 skala Richter dan 9 skala Richter, yang melepaskan energi berpuluh kali lipat dibandingkan dengan gempa Padang 2009.

Sejak kejadian gempa dan tsunami dahsyat di Nanggroe Aceh Darussalam pada akhir 2004, berturut-turut Indonesia mengalami gempa besar, yakni di Nias (2005); Yogyakarta dan Jawa Barat (2006); Bengkulu dan Jambi (2007); Sumatera Barat dan Sulawesi Tengah (2008); serta Papua Barat, Jawa Barat, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, dan Ujung Kulon (2009).

Pada gempa di Yogyakarta tahun 2006, tidak kurang dari 150.000 rumah luluh lantak. Gempa Tasikmalaya, Jawa Barat, menghancurkan sekitar 24.000 rumah. Adapun gempa baru-baru ini di Padang dan Pariaman, Sumatera Barat, merusak sekitar 4.000 rumah.

Sayangnya, meskipun gempa sudah berkali-kali terjadi dan mendatangkan kerugian yang tidak kecil, animo masyarakat untuk memproteksi rumahnya dengan asuransi gempa masih sangat minim. Properti yang memiliki perlindungan gempa bumi umumnya hanya bangunan komersial, seperti gedung perkantoran, hotel, dan tempat perbelanjaan. Minimnya penetrasi asuransi gempa tidak terlepas dari masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk berasuransi dan relatif mahalnya premi asuransi gempa.

Rendahnya penetrasi asuransi gempa tercermin dari total nilai pertanggungan risiko akibat gempa di Indonesia yang hanya sekitar Rp 90 triliun. Itu pun sebagian besar atau sekitar Rp 70 triliun berada di Jakarta.

Dari jumlah itu, nilai pertanggungan untuk rumah jauh lebih kecil lagi karena dari sebaran properti yang memiliki proteksi gempa, porsi rumah atau residensial hanya 28 persen. Bandingkan dengan nilai komersial semua rumah di Indonesia yang mungkin mencapai puluhan ribu triliun rupiah. Jangankan asuransi gempa yang preminya masih relatif mahal, jenis asuransi lain yang preminya murah pun, seperti asuransi jiwa, penetrasinya baru sekitar 12 persen dari total penduduk Indonesia.

Karena minimnya properti yang memiliki proteksi gempa, klaim asuransi pada setiap gempa biasanya sangat kecil dibandingkan dengan total kerugian ekonomi yang diderita, rata-rata di bawah 5 persen.

Nilai premi

Asuransi gempa masuk dalam asuransi katastrop bersama letusan gunung berapi, tsunami, dan longsor. Asuransi ini tidak masuk dalam polis standar asuransi properti yang biasanya hanya meng-cover risiko kebakaran. Asuransi gempa dan bencana lainnya merupakan perluasan dari polis standar asuransi properti.

Nilai premi untuk polis standar properti saat ini rata-rata sekitar 0,5 per mil. Artinya, jika nilai pertanggungan sebuah rumah sekitar Rp 500 juta, nilai preminya adalah Rp 250.000 per tahun.

Adapun nilai premi untuk asuransi gempa 1-2 per mil, tergantung dari potensi gempa di daerah bersangkutan. Semakin rawan daerah tersebut, semakin tinggi nilai preminya. Jika rate- nya 1 per mil, untuk nilai pertanggungan Rp 500 juta, premi yang harus dibayar pemegang polis sebesar Rp 500.000 per tahun.

Asuransi gempa relatif mahal karena risiko kerugian bagi asuransi cukup besar. Pasalnya, jumlah orang yang membeli asuransi gempa masih sedikit sehingga probabilitas klaim menjadi besar. Apalagi, tidak seperti kebakaran yang hanya menghanguskan sedikit rumah, kejadian gempa bisa meluluhlantakkan rumah-rumah dalam cakupan yang luas.

Direktur Utama Asuransi Jasindo Eko Budi Wiyono mengatakan, dengan latar belakang wilayah Indonesia yang rawan bencana dan frekuensi gempa yang meningkat, sudah selayaknya asuransi gempa untuk rumah dijadikan program nasional. Jika semakin banyak rumah yang memiliki proteksi gempa, nilai preminya bisa semakin rendah.

Agar masyarakat tidak terlalu berat menanggung premi asuransi gempa, pemerintah bisa memberikan subsidi. "Setiap tahun pemerintah menyisihkan dana yang cukup besar untuk penanggulangan dan rehabilitasi dampak bencana. Sebagian dari dana tersebut bisa digunakan untuk subsidi asuransi gempa. Sebagai gantinya, dana untuk rehabilitasi rumah akan dibiayai perusahaan asuransi. Skema ini bisa lebih murah dan efektif," kata Eko.

Keterlibatan asuransi dalam mitigasi risiko bencana terbukti membawa banyak manfaat. Sekurang-kurangnya, korban tidak lagi terbebani karena harus memikirkan biaya perbaikan rumah. Dengan beban psikologis yang lebih ringan, masyarakat yang menjadi korban bisa lebih cepat bangkit dan produktif kembali.

Saat ini, lanjut Eko, merupakan momentum yang tepat untuk mengimplementasikan asuransi gempa sebagai program nasional. Apalagi, setelah kejadian gempa yang berulang-ulang, kesadaran masyarakat untuk melindungi propertinya dari risiko gempa cenderung meningkat. "Di cabang-cabang Jasindo yang terletak di daerah rawan gempa, permintaan asuransi gempa cenderung meningkat," katanya.

Frans Sahusilawane mengusulkan agar perbankan serius mempertimbangkan untuk memasukkan asuransi gempa sebagai asuransi wajib dalam kredit pemilikan rumah (KPR). Skema ini tidak hanya menguntungkan nasabah, tetapi juga bank bersangkutan. Bank bisa terhindar dari ancaman kredit bermasalah (NPL) yang tinggi akibat banyak korban gempa yang tidak bisa mencicil angsuran KPR-nya. Pada saat gempa Aceh dan Yogyakarta, terbukti NPL KPR di kedua daerah tersebut melonjak. "Kami meminta Bank Indonesia sebagai regulator perbankan juga serius memikirkan ini," katanya.

Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN) Iqbal Latanro mengatakan, sejauh ini, asuransi properti yang disertakan pada KPR hanya polis standar kebakaran. Adapun asuransi gempa bersifat pilihan (optional). "Karena nilai preminya yang mahal, tidak semua calon nasabah mau menanggung asuransi gempa," katanya.

Namun, mengingat tingkat kebutuhan asuransi gempa semakin tinggi, BTN dan pihak asuransi saat ini sedang merumuskan skema untuk mewajibkan asuransi gempa dalam KPR. BTN, ujar Iqbal, menginginkan agar preminya diturunkan sehingga tidak memberatkan nasabah.

"Perusahaan asuransi bersedia menurunkan premi asuransi gempa asalkan skema ini diterapkan pada KPR BTN di seluruh Indonesia, tidak hanya di daerah rawan bencana. Ini agar terjadi subsidi silang dari daerah yang tidak terlalu rawan bencana ke daerah yang kerawanannya tinggi. Namun, pembahasannya belum final," ujar Iqbal.

Sementara itu, General Manager Kredit Konsumer BNI Dyah K Sulianto menjelaskan, BNI juga tengah menjajaki kerja sama dengan asuransi untuk memproteksi KPR dari risiko gempa. "Ini akan segera kami terapkan untuk daerah-daerah yang rawan gempa," tutur Dyah.

Sinergi antara perbankan dan asuransi seperti ini memang sangat diharapkan untuk menutup kekurangan pemerintah dalam mitigasi bencana alam. Dengan meningkatnya frekuensi gempa, calon nasabah KPR pasti tidak keberatan untuk membeli asuransi gempa sepanjang preminya tidak semahal saat ini.

Dilihat dari kepentingan perbankan, asuransi gempa sebenarnya lebih penting daripada asuransi kebakaran. Jika terjadi kebakaran, hanya segelintir nasabah KPR yang gagal bayar. Namun, jika terjadi gempa, dipastikan akan banyak nasabah yang gagal bayar.

Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved