Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2009
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Rabu, 26 Agustus 2009 | 04:23 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/26/04232914/menimba.ilmu.agama.di.seberang
Isi:
Sungai Batanghari, yang membentang di wilayah Jambi, menjadi unsur penting dalam pembentukan karakter budaya masyarakat Melayu. Sebagai sarana transportasi air, Batanghari membawa pengaruh dunia luar serta menjadi saksi pembauran penduduk lokal dan pendatang.
Seberang Kota Jambi atau dikenal Sekoja menjadi permukiman awal masyarakat Melayu yang berbaur dengan pendatang dari Timur Tengah dan China. Kawasan ini merupakan yang pertama kali dihuni kaum pedagang dan ulama asal Arab.
Disebut Sekoja karena perkampungan tersebut berada di seberang Sungai Batanghari, Kota Jambi. Menurut Datuk Ismail Yusuf (81), tetua masyarakat Melayu di sana, pedagang asal Jambi telah ratusan tahun lalu berpesiar ke wilayah Asia dan Timur Tengah. Selain berdagang, mereka mempelajari Islam dan berinteraksi dengan alim ulama setempat.
Dari interaksi itulah, banyak pedagang dan ulama asal Arab tertarik untuk berkunjung ke Jambi. Mereka berlayar lewat Sungai Batanghari, lalu tinggal di wilayah Sekoja. Selain menyebarkan agama Islam, mereka bergaul dan menikah dengan penduduk lokal.
Para pedagang Jambi yang menimba ilmu agama di Arab Saudi, lanjut Ismail, juga kembali ke kampung halaman dan menggerakkan lembaga pendidikan Islam sekitar 200 tahun silam. Akhirnya, kawasan itu kian dikenal sebagai pusat pendidikan agama. Banyak pelajar dari berbagai kabupaten di Jambi menimba ilmu agama di sana. Lulusannya kemudian membangun sekolah-sekolah Islam di tempat asal mereka.
Sekolah
Tahun 1912, sejumlah ulama yang selesai mengenyam pendidikan di Arab Saudi membentuk kerukunan "Samaratul Insan". Tiga tahun kemudian, empat sekolah agama berdiri sekaligus, yaitu Madrasah Nurul Iman di Kampung Tanjung Pasir, Nurul Islam di Kampung Ulu Gedong, Saadatul Daren di Kampung Tahtul Yaman, dan Al-jauharen di Kampung Pulau—yang kemudian pindah ke Kampung Tanjung Johor.
"Dua madrasah dibangun setelah itu, yakni As’ad dan Al-Mubaroq," kata Ismail lagi.
Jumlah siswa pada masa itu, lanjutnya, mencapai ribuan orang. "Mereka belajar di madrasah-madrasah tersebut," kata Ismail, yang juga pembina di Madrasah Nurul Iman.
Banyak orang tertarik untuk belajar di seberang, menurut Ismail, karena selain gratis, mereka juga memperoleh ilmu-ilmu alam, termasuk astronomi.
Hubungan siswa dan guru saling menguntungkan. Siswa mendapat ilmu agama dan pengetahuan umum tanpa membayar. Sebaliknya, guru dapat hidup tanpa gaji. "Lahan mereka ditanami padi dan sayuran oleh siswanya selepas jam belajar. Kebutuhan guru dan siswa sama-sama terpenuhi," ujar Ismail.
Dipertahankan
Kini madrasah-madrasah itu masih berdiri. Bangunan aslinya yang mayoritas dari kayu bulian tetap dipertahankan. Di Madrasah Nurul Iman, misalnya, bangunan dua lantai masih terlihat megah. Tempat itu bisa menampung 600 siswa dari tingkat dasar hingga menengah atas. Papan tulis, kursi, dan meja aslinya juga masih dimanfaatkan.
Sistem pengajarannya pun bisa dikatakan tidak berubah. Pendidikan agama klasik, mulai dari fikih, tafsir, hadis, tasawuf, dan logika masih diberikan.
Belakangan ini, siswa bahkan dibekali tambahan pengetahuan umum dan bahasa supaya bisa mengantongi ijazah yang disetarakan dengan ijazah standar pemerintah.
Satu hal yang mungkin bisa dikatakan berubah hanyalah jumlah murid. Belakangan ini jumlahnya semakin berkurang. Jika beberapa tahun lalu jumlah murid per madrasah masih lebih dari 3.000, kini hanya sekitar 600 siswa.
Menurut Edy Sunarto, pengajar di salah satu madrasah seberang, berkurangnya jumlah siswa antara lain karena banyak lulusan Sekoja yang membuka pesantren di daerah masing-masing. "Sekarang sudah banyak pesantren dibangun di tiap kabupaten. Pendirinya, lulusan dari seberang," katanya. (ITA)
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved