Welcome to Pusat Dokumentasi Arsitektur Library
Format : Artikel
Impresum
-
: , 2009
Deskripsi
Sumber:
Kompas: Sabtu, 29 Agustus 2009 | 05:32 WIB
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/08/29/05320393/hasil.kopenhagen.tentukan.nasib.bumi
Isi:
Vienna, Jumat - Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Jumat (28/8), menegaskan bahwa hasil pembicaraan di Kopenhagen, Denmark, akan memengaruhi planet ini bergenerasi-generasi yang akan datang.
Untuk itu, dia mendesak dunia untuk mempersembahkan hari bagi isu perubahan iklim menjelang konferensi akbar di Kopenhagen, Denmark, Desember mendatang. Pada 7-18 Desember 2009 akan digelar Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Konferensi PBB mengenai Perubahan Iklim di Kopenhagen.
Pertemuan tersebut merupakan pertemuan amat penting bagi kelangsungan komitmen negara-negara di dunia menghadapi tantangan perubahan iklim. Pada pertemuan itu akan diputuskan apakah akan ada rezim pengganti Protokol Kyoto sebagai perwujudan komitmen global tersebut.
Menurut Ban, yang berbicara tentang hal ini di Kompleks PBB di Vienna, Austria, dalam peringatan 30 tahun sebagai kantor pusat empat badan dunia.
Dia mengungkapkan, ancaman akibat emisi gas rumah kaca menegaskan bahwa sekarang seluruh dunia sudah seharusnya melakukan aksi bersama.
Ban berencana mengunjungi kutub utara secepatnya. Dia berharap bisa mengirim kabar penting bagi dunia internasional tentang pentingnya mengendalikan polusi. Dia mengatakan, "Masa depan manusia dan Planet Bumi menjadi pertaruhan."
Indonesia kecewa
Indonesia mengaku kecewa dengan perkembangan negosiasi perubahan iklim saat ini. Empat bulan menjelang COP-15, komitmen negara maju untuk mengurangi emisi karbon mereka dalam jumlah besar (deeper cut) tidak jelas juga.
Sikap negara-negara anggota Annex-I, yang terdiri dari negara-negara maju tersebut, berubah dibandingkan dengan apa yang mereka katakan saat COP-13 di Bali pada Desember tahun 2007.
"Target penurunan emisi dan pendanaan bagi negara berkembang sampai sekarang tidak jelas juga," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, Kamis (27/8) seusai konferensi pers mengenai sumber emisi Indonesia yang terbesar.
Negara-negara maju yang diwajibkan menurunkan emisinya hingga 40 persen pada tahun 2020 dari emisi tahun 1990 itu, disebut Rachmat, bersembunyi di balik sikap Amerika Serikat. AS hingga sekarang belum menentukan sikap secara resmi karena sedang menggodok undang-undang terkait perubahan iklim (Security Act Bill). Undang-undang itu sekarang belum disetujui Kongres AS. "Negara-negara maju mengulur-ulur waktu," kata dia.
Di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama, AS yang belum meratifikasi Protokol Kyoto secara politis telah menunjukkan sikap mau turut berpartisipasi bersama-sama dengan negara lain dan siap memimpin.
Namun, Rachmat memberi perkecualian pada Inggris dan negara-negara di kawasan Skandinavia, seperti Swedia, dan Norwegia. Terkait dengan negosiasi iklim, sikap Indonesia jelas, yaitu meminta negara-negara Annex I melakukan pengurangan emisi dalam jumlah besar dan memperjuangkan agar ada pendanaan dalam skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD). Berdasarkan hitungan konsultan, pengurangan emisi Indonesia tahun 2030 bisa mencapai 2,3 giga ton jika program dijalankan secara konsisten.(ISW/GSA)
Subject :
Copyrights © 2016 Pusat Dokumentasi Arsitektur. All rights reserved